Terkait fenomena pengemis marah gara-gara tak diberi uang, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, memberikan pandangannya.
Drajat mengatakan, fenomena pengemis pada awalnya berkaitan dengan perilaku filantropis.
“Kita bersedekah dengan harapan orang yang tidak mampu bisa tertolong. Ini juga berdasarkan nilai yang kita ikuti yang diharapkan mendapat pahala,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Senin (27/6/2022).
Namun, dari dua kasus di atas, Drajat menilai fenomena pengemis telah mengalami pergeseran dari perilaku filantropi ke transaksional.
“Pengemis meminta harus dihargai dan saat mengemis harus diberi,” ucapnya.
Baca juga: Pengemis Lempar Sandal karena Tak Diberi Uang, Pelaku Ternyata Pernah 2 Kali Diamankan Satpol PP
Dia mencotohkan beberapa kasus lain. Salah satunya pengemis yang ogah menerima uang Rp 500. Begitu diberi, uang koin itu dibuang lagi.
“Mereka menganggapnya itu adalah penghinaan dan tidak dihargai. Perilaku transaksional ini basisnya perilaku timbal balik, dasarnya terkait dengan penghargaan-penghargaan yang lebih bersifat instrumental, berupa uang, dan lain-lain,” ungkapnya.
Di samping itu, dengan adanya perubahan perilaku ke arah transaksional, para pengemis menganggap bahwa tindakan mengemis merupakan sebuah pekerjaan. Hal ini juga dapat memicu munculnya perbuatan agresif dari pengemis.
“Hal ini semakin berkembang seiring tingginya tuntutan ekonomi,” tutur Drajat.
Baca juga: Pelanggan yang Kepalanya Ditoyor Pengemis karena Tak Beri Uang, Memaafkan dan Doakan Pelaku
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.