Saat warga tengah berada di rumah Pak Kikir, seorang nenek tua datang meminta sedikit nasi. Namun, Pak Kikir tidak mau memberikan malah menyuruh nenek tersebut pergi.
Anak Pak Kikir yang melihat kejadian tersebut langsung menyusul nenek itu dan memberikan sebungkus nasi.
Nenek itu mengucapkan beribu terima kasih dan mendoakan anak Pak Kikir hidupnya mulia.
Ia juga berpesan kalau nanti malam saat hujan mulai turun, anak Pak Kikir diminta segera meninggalkan desa dan jangan memberitahukan kepada siapapun sebelum nanti malam.
Nenek tersebut juga berpesan agar anak Pak Kikir mengajak semua warga desa. Namun, nenek itu tidak mau memberitahu alasannya.
Rupanya pada malam hari, hujan mulai turun. Anak Pak Kikir mengajak ayahnya meninggalkan desa, seperti pesan nenek.
Namun, Pak Kikir tidak mau mempercayai perkataan anaknya serta menolak meninggalkan desa. Karena, ia berpikir meninggalkan rumah dapat membuat hartanya dijarah.
Akhirnya, anak Pak Kikir memilih untuk memberitahu warga desa dengan memukul kentongan. Ia mengajak warga desa untuk meninggalkan desa tersebut.
Tiba-tiba, nenek yang meminta nasi saat kenduri muncul dan menyuruh warga desa segera meninggalkan desa tersebut.
Semua warga desa menurut dan meninggalkan desa ke bukit, kecuali Pak Kikir yang tidak mau menggalkan rumah demi melindungi hartanya.
Hujan semakin deras, kilat menyambar-nyambar, air hujan semakin membanjiri desa dan semakin lama semakin tinggi.
Baca juga: Asal-usul Danau Singkarak dan Sungai Ombiln
Pak Kikir panik dan minta tolong. Namun tidak ada satu warga pun di desa itu, ia pun tenggelam bersama hartanya.
Keesokan harinya, warga melihat desanya teggelam dari puncak bukit. Mereka segera mencari lahan baru untuk tempat tinggal.
Warga mengangkat anak Pak Kikir menjadi pemimpin desa.
Di desa yang baru tersebut, anak Pak Kikir membagikan lahan secara adil.