Zelig menjelaskan, menurut masyarakat, tanah milik mereka yang diambil PT DDP bermula tahun 1995.
Saat itu, sejumlah tanah petani yang ditanami jengkol, padi, kopi, dan lainnya diambil PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) seluas 1889 hektare.
Namun, pihak perusahaan hanya melakukan aktivitas penanaman komoditi Kakao seluas 350 hektar. Selebihnya, tanah 1.889 hektare tidak ditanami hingga tahun 1997.
Sehingga rentang 1995-1997 tanah yang tidak digarap PT BBS digarap kembali oleh warga yang mengaku tidak mendapatkan ganti rugi.
"Dua tahun PT BBS tak memanfaatkan tanah yang mereka ambil dari petani. Merasa tak pernah dapat ganti rugi lahan petani ambil lagi tanahnya," jelas Zelig.
Selanjutnya pada 2005, lahan HGU terlantar milik PT BBS yang telah dikelola masyarakat diambil alih PT Daria Dharma Pratama (DDP) melalui keterangan akta pinjam pakai antara PT DDP dan PT BBS.
Bermodalkan klaim tersebut, PT DDP mulai mengusir paksa masyarakat dengan menanam komoditi sawit, pemaksaan ganti rugi, dan tindakan represif.
"Masyarakat bertahan," jelasnya.
Baca juga: Kasus Penculikan 10 Anak Laki-laki, Pelaku Beraksi di 12 TKP di Bogor, Tangerang hingga Jakarta
Selama bertahan, masyarakat mengupayakan pada pemerintah agar tanahnya kembali, namun selalu gagal.
Pada Maret 2022, aparat polisi dan Brimob mengawal aktivitas PT DDP di perkebunan. Hingga kini ada 13 pondok kebun dibakar, satu warga dipukul dan ditangkap tanpa prosedural.
Selanjutnya, Kamis (12/5/2022), puluhan petani panen sawit ditangkap.
Penjelasan PT DDP
Humas PT DDP, Samirana menjelaskan, perusahaannya memiliki legalitas yang jelas secara hukum.
Sudah berulang kali pihaknya menjelaskan pada masyarakat bahwa tanah yang mereka kelola dibebaskan secara hukum sah.
"Tidak ada sejengkal pun tanah mereka itu. Mereka cuma mengaku-ngaku saja. Kami bebaskan tanah itu secara hukum dengan musyawarah dan ganti rugi. Mereka mengaku-ngaku," jelas Samirana.