Meramu di wilayah hak ulayat
Masyarakat Kamoro sejak nenek moyang hingga saat ini memiliki budaya meramu.
Hampir di wilayah pesisir selatan Papua, masyarakatnya dikenal dengan kehidupan dan budaya meramu untuk menyambung hidup sehari-hari.
“Masyarakat Kamoro hidupnya adalah mencari sagu, mencari ikan dan mencari binatang serta meramu apa yang ada di sekitar wilayah adatnya masing-masing,” katanya.
Masyarakat Kamoro tidak sembarangan meramu di wilayah yang bukan hak ulatnya.
Mereka meramu hanya di sekitar wilayah kekuasaan atau yang menjadi haknya masing-masing sesuai dengan pembagian marga yang ada di Kamoro.
“Masyarakat Kamoro tidak sembarang meramu, mereka meramu di lokasi yang menjadi hak ulayatnya. Jika melewati hak ulayatnya klien atau marga yang lain, maka bisa ditegur, bahkan menimbulkan masalah baru,” ucap Likitoo.
Baca juga: Isak Tangis Iringi Pemulangan 18 Jenazah Korban Kecelakaan Maut Pegunungan Arfak ke NTT
Menurut Likitoo, di Papua ada bermacam-macam suku, tetapi di dalamnya terdapat bermacam-macam klien atau marga yang mengendalikan dusun-dusunnya masing-masing.
Begitu pun dengan Suku Kamoro.
“Setiap klien atau marga memiliki batas wilayah adatnya masing-masing-masing, sehingga mereka akan mencari di hak ulayatnya sesuai dengan batas-batas klien atau marga yang ada di Kamoro,” tuturnya.
Likitoo menyatakan, hak ulayat di masing-masing klien atau marga bisa berhektar-hektar, sehingga mereka secara leluasa membangun kehidupannya.
“Masyarakat Kamoro di kampung-kampung masih mempraktikkan budaya dan kebiasaan-kebiasaan dalam meramu,” katanya.
Menurut Leonardus, berubah dan tidaknya kehidupan masyarakat Kamoro sebenarnya tergantung dari sisi pendapatan secara ekonomi.
“Sementara masyarakat kita yang notabene masih tingkat pendidikannya kurang atau memilih untuk ada di kampung, maka kebiasaannya masih tetap meramu seperti itu,” tuturnya.
Baca juga: Mendagri Sebut Pemekaran Wilayah di Papua Akan Mempercepat Pembangunan
Masyarakat Kamoro memiliki budaya ukir yang hingga kini masih terus dilestarikan kepada para generasi mereka.
Di kampung-kampung, budaya ukir masih dipertahankan.
Ketrampilan mengukir telah dilakukan oleh masyarakat Kamoro secara turun temurun.
Mereka pandai membuat ukiran di pohon, mulai dari ukiran berbentuk manusia, perahu, ikan dan ukiran-ukiran yang melambangkan kehidupan masyarakat Kamoro sehari-hari.
Patung Mbitoro merupakan salah satu ukiran khas masyarakat Kamoro. Patung ini di ukir oleh masyarakat dan menjadi keunikan serta simbol tersendiri bagi masyarakat Kamoro.
Patung Mbitoro ini dijadikan simbol di kantor pemerintahan, gereja dan tempat-tempat lainnya yang ada di Kabupaten Mimika.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Kabupaten Mimika, Ibu Kota Calon Provinsi Baru Papua Tengah
Apalagi saat ini, kata Likitoo, ukiran yang dihasilkan oleh masyarakat Kamoro sudah menjadi salah satu nilai ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari.
“Budaya ukir di kayu hingga kini masih dilestarikan. Bahkan, dengan mengukir dapat mereka dapat menghidupi kehidupannya sehari-hari secara ekonomi di dalam keluarga,” katanya.
Leonardus mengatakan, ada jenis tarian yang dimainkan hampir setiap klien atau marga di masing-masing kampung.
Namun, ada juga tarian-tarian tradisi dalam pesta-pesta adat yang tidak bisa dimainkan oleh klien atau marga lainnya.
“Ada tarian-tarian adat yang dimiliki oleh klien atau marga tertentu di setiap kampung yang tidak bisa dimainkan oleh marga atau klien lainnya,” katanya.
Baca juga: Mendagri Sebut Pemekaran Wilayah di Papua Akan Mempercepat Pembangunan
Sementara itu, Dominggus menambahkan, ada bermacam-macam tarian yang dimiliki oleh masyarakat Kamoro. Salah satunya Yari Ipuya. Tarian ini biasanya dimainkan untuk penjemputan tamu-tamu kehormatan atau tamu kenegaraan.
Dominggus menyampaikan, Tari Ipuya biasanya dimainkan oleh masyarakat Kamoro untuk menjemput para pejabat, seperti bupati atau para pemimpin daerah lainnya yang datang dari dalam maupun luar Papua ke Mimika.
“Tari Ipuya ini merupakan tarian penjemputan. Tarian ini waktu itu kita mainkan saat menjemput para tamu saat penggelaran PON XX Papua di Kabupaten Mimika,” ungkapnya.
Menurut Dominggus, mereka juga memiliki pakaian adat yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
“Pakaian adat perempuan disebut Tauri dan Paiti Taa, sedangkan untuk laki-laki disebut Tapena atau Kain Cawat Merah, Atayii atau Bulu Kasuari, Yaomoko, Buluh Burung Cenderawasih, Mbakare, Geing Tangan, Mbakare Mbau Taa atau Punya Laki,” tuturnya.
Baca juga: Mengenal Noken Asli Suku Kamoro Papua, Dibuat dari Kulit Kayu dan Daun