KOMPAS.com - Memutus rantai kekerasan terhadap anak-anak di Indonesia ternyata masih butuh jalan yang panjang.
Berdasar data yang dibeberkan Kementerian Sosial (Kemensos) pada Senin (7/3/2022), per 31 Januari 2022 tercatat total kasus kekerasan terhadap anak adalah 1.253 kasus.
Baca juga: Herry Wirawan Divonis Penjara Seumur Hidup, Anak Korban Diserahkan ke Pemprov Jabar
Rinciannya, korban tertinggi pada kategori anak korban kejahatan seksual sebanyak 338 anak dan anak korban kekerasan fisik dan atau psikis sebanyak 80 anak.
Menyikapi hal itu, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengamanan dan Perlindungan Anak di Berbagai Lingkungan.
Baca juga: Menteri PPPA Siapkan Pengasuh yang Tepat untuk Anak Korban Penyekapan di Sumedang
Harapannya, menurut Mensos Risma, para kepala daerah turun tangan dan lebih proaktif untuk melindungi anak-anak dari tindak kekerasan.
“SE ini dimaksudkan mengajak pemda untuk melakukan pencegahan, memberikan perlindungan, dan memastikan anak mendapatkan lingkungan yang aman,” kata Risma seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin.
Baca juga: Jurnalis Demo, Minta Hakim Beri Vonis Setimpal untuk Oknum Polisi Pelaku Kekerasan terhadap Nurhadi
Melihat data tersebut, pemerhati masalah anak sekaligus pendiri Yayasan Sahabat Kapas Dian Sasmita, mengatakan, muara dari kekerasan anak adalah pengasuhan.
"Anak yang tumbuh dengan kekerasaan akan bermental rapuh. Akibatnya, dia tidak memiliki kegembiraan seperti anak-anak lainnya. Mudah curiga, mudah marah, mudah tersinggung, mudah memukul, mudah cemas, mudah depresi,dan lain-lain," katanya kepada Kompas.com, Kamis (9/3/2022).
"Dan jika anak-anak tersebut tumbuh dengan jiwa terluka dan tidak ada pendampingan, perawatan terhadal luka-luka batin itu, mereka akan berpotensi melakukan tindak kekerasan saat beranjak dewasa. Untuk itu muncul istilah rantai kekerasan," tambahnya.
Baca juga: Gara-gara Bermain Layangan, Anak Dianiaya Ayahnya hingga Meninggal, Terungkap Usai Makam Dibongkar
Sementara itu, menurut psikolog klinis, Sitti Annisa M Harusi, M.Psi. dari Psikolog Klinis Daya Potensia Indonesia, proses pemulihan anak-anak korban kekerasan butuh waktu yang lama.
Annisa menyebutkan bahwa dampak dari tindak kekerasan yang dialami penyintas kekerasan adalah trauma.
Trauma ini, kata Annisa, membuat penyintas kurang fokus saat mengerjakan sesuatu, teringat terus kejadian yang dialami, perubahan pola tidur dan makan, mudah marah dan banyak gejala-gejala lainnya.
"Lama pulihnya itu bergantung dari usaha seseorang untuk mengatasi traumanya. Dan tujuan dari penanganan psikologis bagi para penyintas adalah bukan untuk melupakan traumanya, namun penyintas dapat hidup dengan traumanya dan dapat mengatasi pikiran dan perasaan negatif yang muncul dari trauma tersebut," katanya kepada Kompas.com pada Kamis (10/3/2022).
Keluarga menjadi garda terdepan untuk memutus rantai kekerasan terhadap anak-anak.