Luka akibat jarum akan menjadi koreng, yang setelah sembuh akan meninggalkan warna hitam sesuai pola yang dirajah.
Selain lamanya proses mengumpulkan jelaga, proses membuat ukiran tato juga memerlukan waktu yang lama.
Sebagai sebuah tradisi, saat perang tato digunakan sebagai tanda pengenal atau identitas pemakainya.
Pada masa lalu, tato digunakan suku Dayak Iban untuk mengenali kawan dan lawannya.
Pada masa perang antarsuku bergulir, orang Dayak Iban dikenal tangguh terutama ketika melakukan pengayauan.
Mengayau adalah tradisi perang dengan memenggal kepala musuh pada masa perang antarsuku.
Selain diberikan bagi seseorang yang sudah mengayau atau membunuh lawan, tato juga digunakan bagi seseorang yang pernah menolong sesama.
Seseorang yang ingin badannya ditato harus memiliki nyali besar karena alatnya yang masih tradisional.
Ketika pertama kali ditato biasanya orang suku Dayak Iban akan merasakan demam, namun tidak lagi ketika dirajah tato berikutnya.
Pergeseran motif tato ini tak lepas dari artinya yang digunakan sejak zaman dulu.
Setelah perjanjian damai disepakati dan tradisi mengayau diakhiri, seni tato bergeser dan digunakan bagi orang suku Dayak Iban yang merantau.
Tato digunakan untuk mengingat tempat-tempat perantauan karena zaman itu tidak semua orang berani meninggalkan tempat asalnya.
Adapun motif tato yang digunakan suku Dayak iban adalah motif tradisional seperti motif bunga terung, motif buah andu, motif ketam, dan motif kelingai.
Beberapa arti tato suku Dayak Iban seperti ukir degug digunakan di leher depan hingga dagu menjadi simbol identitas.
Kemudian kalapah di paha dan bilun di betis adalah simbol berbentuk manusia.
Ada juga ketam itit diukir di punggung kiri dan kanan, sementara bunga terung dirajah di dada dan pundak.
Tato untuk wanita suku Dayak Iban diukir di belakang telapak tangan dan jari sebagai simbol keahlian menganyam dan siap menikah, namun sudah jarang digunakan.
Saat ini generasi muda suku Dayak Iban masih ada yang mempertahankan seni tradisional ini namun jumlahnya sudah tidak sebanyak pendahulunya.
Sumber:
warisanbudaya.kemdikbud.go.id
lifestyle.kompas.com
regional.kompas.com