Mariyati menceritakan, pernah mengadu nasib ke Jakarta bersama suami dan anaknya.
Mereka hidup di Jakarta selama puluhan tahun. Mereka mencari uang dengan cara mengamen.
"Dulu saya, suami dan anak saya mengamen semua di Jakarta," ungkap Mariyati.
Setelah suaminya meninggal tepatnya sekitar 10 tahun yang lalu karena penyakit paru-paru, Mariyati dan anaknya pulang dari Jakarta ke Dukuh Gulon.
Jenazah Sumardi juga dibawa pulang dari Jakarta untuk dimakamkan di Dukuh Gulon. Sumardi merupakan warga Dukuh Gulon.
"Suami saya meninggalnya di Jakarta. Terus tak bawa pulang pakai ambulans dimakamkan di sini," ungkap dia.
Kehidupan Mariyati semakin terpuruk. Ditambah dengan kondisi kejiwaan anak laki-lakinya yang terganggu.
Mariyati harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup sendirian. Mariyati akhirnya kembali mengamen.
"Setiap hari saya mengamen di Pasar Simo dan Karanggede. Tapi, sudah sebulan tidak kerja (mengamen) karena jatuh di sungai. Kaki saya masih sakit, belum sembuh," ungkap dia.
Baca juga: Menyoal Dugaan Pemerkosaan Istri Napi oleh Pria yang Mengaku Polisi di Boyolali
Kehidupan Mariyati yang memprihatinkan ini menggugah rasa kemanusian berbagai kalangan. Sejumlah bantuan berdatangan untuk meringankan beban hidup keluarga Mariyati.
Belum lama Mariyati mendapat bantuan paket sembako dari Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah Desa Walen, bantuan pengobatan dari Karanggede Peduli dan bantuan lainnya.
Mariyati menuturkan, anak laki-lakinya tersebut sudah beberapa kali dibawa ke rumah sakit jiwa di Solo dan Klaten untuk mendapatkan pengobatan.
Bahkan, dirinya mengaku sampai menjual tanah pekarangan untuk biaya pengobatan anaknya dan hanya menyisakan sedikit untuk tempat tinggal.
Namun, sampai sekarang, belum ada perubahan signifikan terhadap kondisi kejiwaan anaknya tersebut.
"Sekarang obat jalan. Dulu pernah dibawa ke Solo, Klaten bayarnya banyak. Mau dibawa ke rumah sakit lagi saya tidak mau," ucap Mariyati.
Ketua RT 002 RW 001 Dukuh Gulon, Desa Tanjung, Wiyono (58) mengatakan, awalnya Mariyati dan keluarganya tinggal di Jakarta. Setiap hari, mereka mencari uang dengan cara mengamen.
"Dulu keluarga Mbak Maryati di Jakarta. Di sana mereka mengamen," kata dia.
Setelah suaminya meninggal dunia, kata Wiyono Mariyati dan anaknya kembali ke Dukuh Gulon. Kondisi kehidupan mereka bukannya lebih baik, justru memprihatinkan.
Wiyono mengatakan rumah yang ditempati Mariyati dan anaknya sudah mengalami perbaikan. Sebelumnya kondisi rumah mereka sangat memprihatinkan dan hampir roboh.
"Dulu pernah saya mintakan bantuan dari masyarakat untuk memperbaiki rumahnya biar lebih bagus tapi tidak mau. Saya tidak tahu permasalahnnya apa," ungkap dia.
Mariyati masih sering mengamen. Setiap hari Mariyati mengamen di Pasar Karanggede. Dia mengamen dari satu bus ke bus yang lain.
Tetapi semenjak terjatuh, Mariyati tidak lagi mengamen. Kaki kanannya harus dibalut menggunakan kain perban warna cokelat.
"Dulu kalau makan dikasih dari warga sekitar. Sekarang dapat bantuan dari mana-mana. Dulu pernah dapat bantuan Rp 600.000. Tapi sekarang tidak tahu," terang dia.
Menurut dia, Mariyati pernah akan dibawa ke Dinas Sosial (Dinsos) agar mendapatkan perhatian lebih baik. Namun, Mariyati tidak mau.
Mirisnya, kata Wiyono, meski memiliki tempat tinggal, Mariyati tidak pernah tidur di rumahnya. Di rumah tersebut hanya ditempati oleh anaknya Narak.
"Dia takut kalau tidur di rumah dikejar-kejar sama anaknya. Jadi tidurnya di pinggir-pinggir jalan gitu," kata dia.