SOLO, KOMPAS.com - Setiap daerah memiliki tradisi masing-masing saat perayaan tahun baru Imlek, seperti halnya di Kota Solo, Jawa Tengah.
Sebelum pandemi Covid-19, perayaan Imlek di Solo biasanya diawali dengan gelaran Grebeg Sudiro berupa gunungan dari kue keranjang yang diarak sepanjang Jalan Sudiroprajan.
Kemudian dilanjutkan pemasangan lampion, pesta kembang api, dan rentetan acara lainnya.
Namun, karena pandemi Covid-19 masih melanda, tahun ini perayaan Imlek di Solo mengalami perubahan. Termasuk gelaran Grebeg Sudiro yang tak lagi dilakukan sejak 2019.
Baca juga: Kue Moho, Salah Satu Sajian Khas Imlek di Kota Solo
Pemasangan lampion dan pesta kembang api pun dilakukan secara terbatas pada tahun ini dengan hanya memasang 1.000 lampion.
Meski demikian, warga Tionghoa di Solo tak meninggalkan tradisi dan masih berpedoman dengan perayaan Imlek secara terbatas.
"Tradisi Imlek di Solo itu masih memegang teguh tradisi tersendiri sampai detik ini meski tak semeriah tahun lalu," ujar pakar sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sekaligus Pengurus Bagian Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) di Kelenteng Tien Kok Sie Solo, Chandra Halim, kepada Kompas.com, Jumat (29/1/2022).
Halim menjelaskan, tradisi yang masih dilakukan dan memiliki keunikan tersendiri bagi pecinan Kota Solo yakni berkunjung ke sanak saudara yang lebih tua di sepanjang perayaan Imlek.
"Bahkan ada satu style yang beberapa dari etnis Tionghoa di luar Kota Solo, kalau hari pertama, biasanya datang ke berkunjung ke rumah orangtua atau di rumah orang yang dituakan," jelas Halim.
Baca juga: Melihat Aksi Toleransi Jelang Imlek di Bandar Lampung
Kunjungan ke sanak keluarga tak hanya di hari pertama, tetapi berlanjut hingga hari ketiga.
"Tapi untuk hari kedua, beberapa orang Tionghoa Tua di Solo masih menggunakan tradisi yang sangat lama sekali bahwa di hari kedua Imlek sangat tabu untuk pai pai ke sanak famili yang masih hidup. Mereka justru pergi ke Ngebong (bongpay/makam Tionghoa) untuk pai pai pada leluhur yang sudah meninggal," jelasnya.
"Karena menurut kepercayaan orang-orang tua Tionghoa Solo, hari kedua merupakan Imleknya tahun baru yang sudah meninggal, ada kepercayaan itu," imbuh Halim.
Kemudian, pada hari ketiga hingga seterusnya, warga Tionghoa Solo bisa saling berkunjung kepada orang yang lebih tua.
Saat melakukan pai pai selama perayaan Imlek juga memiliki aturan dan artinya.
"Tangan mengepal di antara leher dan jantung, untuk teman sebaya atau balasan pai pai dari orang tua yang lebih muda. Lalu tangan mengepal di depan mulut memerikan hormat dari muda ke yang lebih muda," tuturnya.
Baca juga: Ikan Bandeng di Pasar Malam Rawa Belong Dipanen Khusus untuk Perayaan Imlek
Selain adanya perbedaan perayaan tersebut, warga Tionghoa Solo juga memiliki ciri khas makanan perpaduan kuliner perpaduan antara Jawa-Tionghoa berupa lontong Cap Go Meh.
Pada dasarnya, lontong Cap Go Meh tak jauh berbeda dengan lontong opor. Hanya saja, yang membedakan, kuah lontong Cap Go Meh menggunakan minyak kelapa yang disangrai enam jam.
Lontong Cap Go Meh berisi lontong, suwiran ayam kampung, telur, bubuk kedelai, kuah terbuat dari minyak kelapa, sambal goreng, dan kerupuk.
"Lontong Cap Go Meh itu perpaduan budaya Solo Jawa dengan Tionghoa, bahkan kalau di luar Jawa, Lontong Cap Go Meh tidak ada," kata Halim.