Berikutnya, Tjokroaminoto diangkat menjadi patih atau pejabat di lingkungan pegawai negeri.
Namun, posisi itu tidak lama disandangnya. Tiga tahun berselang, Tjokroaminoto menanggalkan jabatannya tersebut.
Alasannya, Tjokroaminoto tidak ingin terus menerus merendah di hadapan orang-orang Belanda sebagaimana lazimnya pegawai negeri zaman itu.
Tjokroaminoto lantas menikah dengan Suharsikin, seorang putri Patih Ponorogo pada tahun 1905.
Berikutnya, Tjokroaminoto dan istrinya pindah ke Surabaya. Di sana dia bekerja sebagai pegawai swasta.
Selain itu, Tjokroaminoto juga membuka kos-kosan yang dikelola oleh istrinya.
Beberapa nama besar sempat tinggal di kos-kosan Tjokroaminoto, salah satunya Soekarno saat sekolah di HBS.
Baca juga: 12 Pahlawan Nasional Asal Sumut, Ada AH Nasution dan TB Simatupang
Memasuki tahun 1912, saat bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang konsultasi teknik di Surabaya, Tjokroaminoto mendapat tamu utusan Sarekat Dagang Islam (SDI).
Tamu merupakan utusan Haji Samanhudi, yang merupakan pendiri SDI di Surakarta pada 1911.
Dengan SDI, Haji Samanhudi berjuang menentang masuknya pedagang asing yang ingin menguasai ekonomi rakyat.
Haji Samanhudi yang mengetahui kecakapan Tjokroaminoto pun memintanya untuk bergabung dan berjuang di SDI.
Tawaran itu diterima. Bahkan HOS Tjokroaminoto menjelma menjadi sosok penting di SDI.
Pada tahun 1912, HOS Tjokroaminoto mengusulkan perubahan dari SDI ke Sarekat Islam (SI).
Perubahan itu dimaksudkan agar anggota SDI tidak hanya dibatasi pada para pedagang, namun lebih terbuka lagi bagi seluruh masyarakat.
Nama SDI pun resmi berubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada 10 September 1912. Tjokroaminoto sekaligus ditunjuk untuk sebagai salah satu pemimpin organisasi ini.