KOMPAS.com - Wulan - bukan nama sebenarnya - bekerja selama enam bulan di perusahaan yang menyalurkan pembantu untuk Maid Online, sebelum memutuskan untuk melarikan diri dari Malaysia pada Mei 2019.
Di pemberitaan sebelumnya, Wulan bercerita harus melakukan prosedur menyita semua barang milik calon pembantu termasuk paspor, telepon seluler, uang, dan foto-foto.
Ia mengatakan melihat sendiri bagaimana tidak berdayanya para calon pekerja tanpa barang-barang dan dokumen penting mereka di negara asing.
Tugas besar lain yang juga mengejutkan adalah praktik menggeledah, menelanjangi dan memfoto saat mereka pakai baju lagi serta mengancam foto-foto telanjang hasil jepretan, akan dikirim ke keluarga di Indonesia.
Wulan menyebut sebagian besar pembantu rumah tangga dalam periode Wulan bekerja berasal dari Nusa Tenggara Timur, Pulau Jawa dan Sumatera Utara.
Ia juga mengatakan bahwa banyak dari mereka yang tidak bisa bahasa Indonesia sama sekali.
Baca juga: Gunakan Kapal Pengangkut Ikan, Nahkoda Diupah Rp 5 Juta Bawa 52 Buruh Migran Ilegal ke Malaysia
Dalam empat tahun terakhir di KBRI, Kuala Lumpur, ada lebih 1.700 buruh migran yang ditampung. Sebagian besar karena masalah gaji yang belum dibayar.
Banyak di antara mereka yang menunggu cukup lama karena proses hukum yang terganggu pandemi.
Kasus yang masih berjalan, menurut data KBRI Malaysia, ada yang masih menunggu walau sudah 3,5 tahun di penampungan.
Status pengiriman pekerja ke Malaysia saat ini masih dibekukan sejak pandemi.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono mengatakan Indonesia belum akan mengirimkan lagi secara resmi sebelum MOU ditandatangani.
Baca juga: Kapal Karam di Malaysia, Ayah Buruh Migran Asal Cilacap Berharap Anaknya Selamat
-------------------------------------------
oleh Nasrikah, aktivis buruh migran dari PERTIMIG di Malaysia
Saya bertemu dengan Mbak Jumi korban Sistem Maid Online (SMO), di Pasar Chow Kit, Kuala Lumpur, Oktober 2020. Saat ditanya nama dan asal dari mana, ia hanya diam dan pandangannya sangat kosong. Tubuhnya terlihat kurus dan lemah.
Saat dibawa ke rumah sakit, dokter mengatakan ada cairan di kepala dan memerlukan operasi secepatnya".
Mbak Jumi asal Kebumen, Jawa Tengah adalah seorang PRT yang ditelantarkan oleh majikannya dan saat ditemukan tidak ada satu dokumen hingga nomor kontak yang ia miliki.
Baca juga: Cerita TKW Neti, Hilang di Malaysia Sejak 2001, Ternyata Jadi Pembantu Tanpa Gaji Selama 8 Tahun
Setelah dibawa ke tempat perlindungan, terungkap, Mbak Jumi berangkat ke Malaysia pada Januari 2020 dengan jalur perseorangan, menggunakan visa turis untuk kemudian dijual ke agensi.
Agensi memperkerjakan ke majikan yang memperlakukan Mbak Jumi layaknya "budak". Mbak Jumi tidak cukup makan, tidak digaji, dan sering dipukul.
Apa yang dialami Mbak Jumi adalah bukti lemahnya SMO dalam memberikan perlindungan bagi PRT asal Indonesia di Malaysia. Izin resmi pemerintah ternyata tidak mampu melindungi PRT migran dari praktik kekerasan.
Baca juga: 2 Perempuan Ditangkap Saat Akan Berangkatkan TKW Ilegal ke Malaysia
SMO meningkatkan praktik pengiriman pekerja ilegal, pemalsuan identitas, tidak ada kontrak kerja, dan perlakuan kasar karena izin kerja bisa diurus langsung di Malaysia, tanpa melibatkan pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada perlindungan bagi mereka.
Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan SMO sejak 1 Januari 2018, yaitu penempatan pekerja migran secara langsung tanpa melalui agensi.
Salah satu tujuannya adalah untuk meringankan majikan karena biaya perekrutan yang tinggi melalui agensi, hingga Rp70 juta. Namun kenyataannya, sistem itu merugikan para pekerja migran.
Baca juga: Gaji Sulikah, TKW Asal Madiun yang Disiksa Majikan di Malaysia, Akhirnya Dibayar
Kini Mbak Jumi sudah pulang ke kampung halamannya, namun kesehatannya tak kunjung pulih.
Walaupun sudah dioperasi, mentalnya belum pulih, tidak bisa diajak komunikasi, dan badannya lemah.
Selain itu, ada juga seorang pekerja yang identitasnya dipalsukan, dari 16 tahun menjadi 25 tahun di paspor.
Ia bekerja di Malaysia tanpa dilengkapi kontrak kerja dan melalui jalur ilegal lalu mendaftar SMO.
Baca juga: Jenazah TKW Terkatung-katung 1,5 Bulan di Taiwan, Anak Kerap Menangis Tengah Malam
Akibatnya, selama lima tahun bekerja, ia tidak pernah menerima gaji yang dijanjikan sebesar Rp 1,7 juta, padahal dalam aturan, minimal gaji sekitar Rp3 juta.
Saat menuntut jalur hukum tidak bisa karena tidak memiliki dokumen dan kontrak kerja.
Mereka adalah contoh dari sekitar 2,5 juta pekerja migran Indonesia di Malaysia yang mayoritas unprosedural dan rawan mendapatkan perlakuan kasar dan eksploitasi.
-----------------------------------------------
Pertama, SMO tidak melindungi hak PRT sehingga PRT tidak memiliki kontak kerja, atau jaminan hukum hak dasar PRT. Majikan memperlakukan PRT tidak manusiawi layaknya budak dan agen memperjualbelikan.
Ia juga menuebut saat menuntut ke hukum, posisinya lemah karena tidak punya dokume.
Kedua, UU Ketenagakerjaan Malaysia tidak mengakui PRT sebagai pekerja, melainkan menyebut sebagai pembantu rumah tanga. Akibatnya, hak-hak PRT dikecualikan dari hak pekerja.
"Standar upah tidak diatur, jam kerja tidak diatur, hak libur tidak diatur, sangat merugikan PRT," kata Nasrikah.
---
Wartawan Malaysia Vinothaa Selvatoray berkontribusi untuk laporan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.