RAMAI-ramai memprotes sikap ketidak-sukaan penggunaan Bahasa Sunda dalam rapat, mengingatkan pada pendidikan multikulturalisme yang menganjurkan penggunaan semua bahasa untuk keakraban dan saling menghargai.
Dalam pendidikan multikulturalisme diberikan semua pengetahuan bahasa di seluruh dunia, termasuk Bahasa Sunda dan daerah-daerah lain.
Semua bahasa diberikan sepotong-sepotong supaya cepat dan mudah dikuasai dengan tujuan untuk digunakan sebagai selingan ketika berbicara di depan pengguna bahasa-bahasa.
Khusus untuk Bahasa Sunda, saya kadang-kadang merasa menyesal karena tidak mempelajarinya dengan baik dan lengkap, sehingga saya tidak bisa leluasa berkenalan dengan orang-orang Sunda yang ingin saya dekati.
Penguasaan saya terhadap Bahasa Sunda boleh dibilang sepotong-sepotong. Saya belajar Sunda langsung dengan pedagang-pedagang pinggir jalan dan orang-orang yang saya temui dalam pergaulan.
Upaya saya belajar Bahasa Sunda dapat dibilang nekat. Tidak takut dibilang salah.
Bahkan saking ingin cepat lancar, saya mencuri kamus Bahasa Sunda- Indonesia dari laci tempat tidur milik mertua saya, Endang Sumarna yang asli orang Sunda. Dia tinggal di Cimahi, Jawa Barat.
Saya pelajari kamus itu. Potongan kata dan peribahasa di dalamnya saya gunakan sekali-kali dalam percakapan dengan istri dan keluarganya, tanpa bilang memungut kata dari kamus tersebut.
Apresiasi mereka luar biasa ketika saya menggunakan Bahasa Sunda yang masih belum lancar, dari potongan-potongan kata dari kamus, misalnya sampurasun, mangga tuang, mangga ti payun, dan lain-lain.
Beruntung saya yang berlatar belakang berbahasa ibu Jawa, pernah ditugaskan menjadi Kepala Biro Harian Kompas untuk Wilayah Jawa Barat dan Banten pada tahun 2000 -2001, ketika Pemimpin Redaksinya dijabat oleh Suryopratomo yang sekarang menjadi Duta Besar RI di Singapura.
Kesempatan bertugas di dua provinsi yang berbahasa Sunda itu, membekali pengetahuan saya tentang masyarakat Sunda dan bahasanya dalam pergaulan lebih dekat.
Masyarakat Sunda yang saya amati di Bandung, mereka itu termasuk golongan orang-orang ramah, peka terhadap perasaan orang lain, pemaaf, dan suka mengalah.
Salah satu contoh yang pernah saya lihat sendiri, pada suatu pagi di Bandung saya naik mobil angkutan kota (angkot) dari Kosambi melintasi Jalan RE Martadinata menuju Dago. Saya duduk di samping sopir.
Di jalan ada empat perempuan mencegat dan naik angkot yang saya tumpangi. Dari pakaian mereka tampaknya hendak bekerja.
Di angkot, mereka ngobrol dengan Bahasa Sunda dengan suara relatif keras.