Meski belum terbukti, ada indikasi kandungan BKO kortikosteroid dalam jamu yang dikonsumsi, yang bisa menyebabkan perforasi atau lubang pada saluran pencernaan, tulang keropos, hingga masalah ginjal.
"Itu umumnya kalau dipakai, kalau orangnya capek, habis kerja keras, orang minum kortikosteroid itu badannya terasa enak. Kalau dicampur jamu, setelah minum badannya terasa enak," kata Ari.
Dia menuturkan, jamu baik untuk menjaga kesehatan seluruh tubuh yang manfaatnya muncul secara perlahan.
Sementara obat, difungsikan mengobati bagian tubuh tertentu saja, dengan reaksi yang lebih cepat.
Bila masyarakat meminum jamu, namun reaksi yang timbul sangat cepat, misal hilangnya capek, pegal, linu, demam, dan pusing, bisa jadi hal itu menjadi tanda ada kandungan BKO di dalamnya.
Pola pikir masyarakat bahwa jamu yang bagus adalah yang langsung cespleng, cepat mengurangi keluhan, badan langsung enak, merupakan mindset yang salah.
"Mindset terkait jamu yang benar adalah bahwa jamu untuk menjaga kesehatan, bukan menghilangkan penyakit secara langsung," kata Ari.
Apoteker, praktisi herbal dan dosen Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Kintoko mengatakan, pemalsuan dan pencampuran kontaminan dalam jamu masih menjadi persoalan.
Dia mengatakan, semakin laris sebuah jenama jamu, semakin besar pula potensi untuk dipalsukan.
Segel botol (seal) maupun label jenama saat ini sangat mudah ditiru, dan belum ada solusi atas jaminan keaslian jamu yang sampai ke konsumen.
Bahkan, jamu yang mengandung kontaminan BKO, apabila laris akan dipalsukan juga oleh pihak yang tak bertanggung jawab.
Jamu yang mengandung BKO sudah berbahaya, masih juga ada pemalsunya.
"Tapi ya tadi, kalau misalkan produk ini laris, mau disegel seperti apapun, ini mudah sekali untuk dipalsu. Apalagi jamu, di sini kan rata-rata kan botol, sangat mudah ditiru. Jadi tidak ada unique selling yang bisa jadi proteksi," kata Kintoko, Sabtu.