Modaga no suangge beranggotakan 25 orang petani. Mereka berasal dari Dusun 1, 2 dan 3 Desa Molibagu, Sebagian lagi berasal dari Desa Popodu.
Para petani ini memanfaatkan aren yang banyak tumbuh ladang. Setiap hari puluhan liter dapat dipanen untuk diolah menjadi gula aren.
“Mulai jam 5 pagi para petani bersiap ke kebun. Tidak jarang mereka berjumpa burung maleo saat melintas,” tutur Basri.
Sebagai petani aren, ia tetap menjalani kehidupan dengan sederhana. Setiap hari anggota Modaga no suangge juga setia mengolah aren. Dari beberapa pohon mereka bisa mendapatkan 50 liter nira segar.
Diakuinya setiap pohon tidak memiliki hasil yang sama, mulai dari 3 liter hingga 10 liter.
“Para petani mengambil nira setiap pagi dan sore, kalau pagi tidak boleh terlambat,” ungkap Basri.
Baca juga: Peringati Hari Maleo Sedunia, 24.970 Anakan Dilepasliarkan
Keterlambatan mengambil dapat menyebabkan air nira keruh, cepat asam, tidak layak diolah menjadi gula aren.
“Gula aren kami jual 25 ribu per kilogram, ada pedagang yang datang setiap minggu. Gula semut juga mulai dirintis oleh kelompok kami,” tutur Basri.
Gula semut memiliki nilai jual yang lebih tinggi, untuk setiap 250 gr dijual ke masyarakat dengan harga Rp20 ribu.
Untuk pengambilan yang banyak, seperti para pemilik rumah makan atau kafe, mereka para petani memberikn diskon khusus.
Hein, salah satu anggota kelompok yang giat memelopori pembuatan jenis gula ini.
Sebagai petani gula aren, Basri dan anggota modaga no suangge dengan ritme kehidupannya sehari-hari.
Setiap pagi ia setia dengan hari-harinya di ladang, memindahkan telur-telur maleo ke hatchery. Ia merasa bangga mampu melaksanakan amanah leluhurnya.
Ia juga merasa senang karena sudah tidak ada lagi pencurian telur oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Ia mengaku sejak telur ini dikelola, pencurian telur langsung terhenti.
Dulu, para pemburu ayam hutan yang acap keluar masuk hutan menjadi ancaman maleo. Mereka memasang jerat dan mengambil telur maleo.
Satwa apapun yang didapat akan dibawa pulang. Seiring menguatnya peran kelompok Modaga no suangge ini para pemburu satwa mulai berkurang.
Basri Lamasese sebagaimana para petani desa lainnya, ia juga memiliki keluarga dan hidup berbahagia.
Istrinya, Rahma Anda (49) adalah ibu rumah tangga yang mendukung upaya suaminya melestarikan maleo.
Pasangan ini dikaruniai 4 anak, mereka adalah Gita Cahyani Lamasese, Gusnadi Lamasese, Fatra Nurizan Lamasese dan si bungsu Khinta Cahyana Lamasese. Dari anaknya yang pertama ia sudah dikarunia 2 orang cucu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.