Basri dan petani lainnya semakin yakin bahwa upaya pelindungan maleo di Batumanangis merupakan tugas mulia.
Mereka mendapat mandat dari leluhur bangsa Bolango, dan akan melaksanakan dengan sepenuh hati.
Para petani ini paham bagaimana harus berbagi ruang sesama makhluk ciptaan Tuhan, dengan cara ini rezeki dari Tuhan berlimpah melalui air nira pohon aren yang terus mengalir, cengkeh dan kemiri yang berbuah lebat, kelapa yang subur, dan tanaman berumur pendek lainnya menghasilkan buah.
Sejak mimpi itu, Basri dan para petani aren lainnya semakin yakin menjaga kelestarian burung maleo merupakan tugas yang harus diemban anak bangsa yang mendiami kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.
Baca juga: Kisah Para Pelestari Maleo, Burung Endemik Sulawesi yang Terancam Punah
Daerah ini dikenal sebagai kawasan terakhir yang didiami suku bangsa Bolango, suku pengembara yang diduga berasal dari wilayah timur.
Para petani telah bersepakat untuk tidak menggarap bagian ladang yang menjadi tempat maleo bertelur.
Mereka membiarkan tempat ini tumbuh alami, mengikhlaskan sebagai tempat berkembangbiaknya maleo, burung kesayangan leluhur mereka, Bangsa Bolango.
Batumanangis masuk dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang kewenangannya berada di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Wilayah 2 Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) - Bolaang Mongondow Timur (Boltim).
Lokasi ini menjadi bagian dari lanskap yang utuh, tersambung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Konektivitas hutan taman nasional dengan wilayah HPT ini menjadi koridor utuh yang memberi ruang hidup bagi burung maleo untuk meletakkan telur-telurnya di tempat yang diinginkan, wilayah yang memiliki panas bumi.
Kepada panas bumi inilah burung ini menyerahkan telurnya untuk ditetaskan.
Di Batumanangis ini dijumpai pasangan maleo yang datang untuk bertelur. Burung-burung ini bergantian menggali tanah dengan kaki besarnya yang kuat, mencakari tanah yang hangat di antara bongkahan batu karang.
Tidak jauh dari lokasi ini terdapat mata air panas yang terus mengalir.
Sejak tahun 2018, Basri dan petani aren lainnya bersepakat untuk melestarikan burung endemik Pulau Sulawesi ini. Burung berwarna putih di bagian bawah dan hitam di bagian punggung ini banyak dijumpai saat para petani berangkat ke kebun.
“Setiap hari kami mendapatkan 1-2 butir, lalu kami pindahkan ke hatchery, belum banyak. Namun kami lakukan dengan rasa sayang, ini amanat dari para leluhur kami,” tutur Basri.
Di sela aktvitasnya sebagai petani mengolah ladang, Basri setiap pagi memeriksa lubang peneluran, menggali tanah untuk mencari telur maleo.
Telur yang didapat akan dipindahkan ke hatchery darurat yang dibuatnya. Posisi meletakkan telur ini harus sama dengan saat ia menemukan.
Di dalam hatchery ini telur maleo aman dari incaran biawak, bahkan saat menetas dan keluar dari dalam tanah anak maleo tetap terlindungi sebelum dilepasliarkan ke hutan.
Kesetiaanya pada maleo ini juga mengantarkannya berkenalan dengan para peneliti, ia pernah menemani tamu dari Malaysia yang melakukan riset burung gosong (Megapodius cumingii).
Basri dianggap memiliki kemampuan mengelola pelestarian jenis burung ini, setidaknya ia sukses menetaskan 32 butir telur burung gosong.
“Masa menetasnya sama dengan maleo, sekitar 65 hari,” tutur Basri.