Salin Artikel

Pesan Gaib Ratu Deku untuk Menjaga Maleo

MOLIBAGU, KOMPAS.com – Basri Lamasese (47) warga Molibagu, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan kaget, di hadapannya tiba-tiba muncul seorang wanita jelita dengan mengenakan baju kebesaran adat kerajaan berwarna biru, berselendang hijau. 

Wanita ini berbicara dalam Bahasa Bolango, mengatakan ketidaksukaan anak cucunya yang membuat sesuatu di tempat burung kesayangannya bertelur, seharusnya ia diberitahu dulu.

Paras cantik wanita di hadapannya betul-betul memesona, kalimatnya pendek dan tegas, ungkapannya jelas, ia kecewa dengan orang-orang yang membuat gaduh mengganggu burung maleo.

Dengan kalimat pendek wanita ini mengatakan burung maleo adalah peliharaan para orang tua leluhur Bangsa Bolango sejak dulu, burung ini tidak boleh diganggu.

Basri Lamasese kaget dan terbangun, ternyata ia bermimpi. Tapi pesan yang disampaikan sangat jelas, Putri cantik yang berbahasa Bolango ini meminta anak cucunya tidak merusak tempat bertelur burung peliharaannya.

Meskipun dalam mimpi, Basri Lamasese mengetahui perempuan ini sangat anggun berwibawa, berbicara sangat jelas dan meyakinkan. Ia yakin wanita yang hadir dalam mimpinya adalah jelmaan leluhur bangsa Bolango. Melalui mimpi ia hadir untuk menyampaikan pesan.

“Setelah mimpi aneh ini saya jatuh sakit, bagian belakang kepala terasa sangat nyeri,” ujar Basri Lamasese, Minggu (21/11/2021).

Burung ketakutan

Kepala adik iparnya yang bernama Irfan Anda, pertemuan dengan wanita cantik dalam mimpi ini diceritakan.

Irfan Anda selama ini dikenal sebagai orang yang memiliki “mata terang”, mampu melihat dan berkomunikasi dengan makhluk dari dimensi yang berbeda.

Irfan Anda menjelaskan bahwa yang datang ini adalah Putri Deku leluhur bangsa Bolango.

Sang Putri meminta para petani jangan mengganggu kehadiran burung peliharaannya yang sering datang ke Batumanangis.

Aktivitas warga di daerah ini membuat burung ketakutan.

Dari penjelasan iparnya ini Basri akhirnya mengerti, ternyata saat bermimpi ia dan kelompok petani aren Modaga no Suwangge sedang bekerja membangun menara pengamatan burung dan hatchery alias kandang penetasan darurat.

Pelestari maleo

Para petani yang tergabung dalam kelompok Modaga no Suangge yang berarti mari jaga maleo ini adalah kelompok pelestari burung maleo yang dibina Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Wildlife Conservation Society (WCS) Program Sulawesi.

Mereka adalah warga setempat yang memiliki ladang di bentang alam taman nasional ini.

Akhirnya, Basri memanjatkan doa untuk memohon keberkahan dalam usaha melestarikan burung maleo, ia juga bekerja lebih hati-hati di lokasi.

Setelah berdoa seketika sakit kepala yang dirasakan langsung hilang, ia tidak sakit lagi, dan merasakan segar bugar.

“Hari itu adalah hari ketiga kami membangun menara pengamatan dan hatchery darurat. Seharusnya kami menggelar doa terlebih dahulu sebelum bekerja,” kata Basri Lamasese.

Basri menjelaskan, menara pengamatan ini dibangun untuk digunakan mengamati perilaku maleo saat bertelur. Wisatawan atau peneliti biasanya memanfaatkan menara pandang ini.

Dari menara kayu ini, pengamat dapat melihat maleo tanpa mengganggu kehadirannya, namun dengan syarat harus tenang.

“Hatchery darurat ini kami bangun untuk menyelamatkan telur dari pemangsaan predator, terutama biawak,” ujar Basri Lamasese.

Tugas mulia

Basri dan petani lainnya semakin yakin bahwa upaya pelindungan maleo di Batumanangis merupakan tugas mulia.

Mereka mendapat mandat dari leluhur bangsa Bolango, dan akan melaksanakan dengan sepenuh hati.

Para petani ini paham bagaimana harus berbagi ruang sesama makhluk ciptaan Tuhan, dengan cara ini rezeki dari Tuhan berlimpah melalui air nira pohon aren yang terus mengalir, cengkeh dan kemiri yang berbuah lebat, kelapa yang subur, dan tanaman berumur pendek lainnya menghasilkan buah.

Sejak mimpi itu, Basri dan para petani aren lainnya semakin yakin menjaga kelestarian burung maleo merupakan tugas yang harus diemban anak bangsa yang mendiami kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.

Daerah ini dikenal sebagai kawasan terakhir yang didiami suku bangsa Bolango, suku pengembara yang diduga berasal dari wilayah timur.

Para petani telah bersepakat untuk tidak menggarap bagian ladang yang menjadi tempat maleo bertelur.

Mereka membiarkan tempat ini tumbuh alami, mengikhlaskan sebagai tempat berkembangbiaknya maleo, burung kesayangan leluhur mereka, Bangsa Bolango.

Batumanangis masuk dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang kewenangannya berada di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Wilayah 2 Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) - Bolaang Mongondow Timur (Boltim).

Lokasi ini menjadi bagian dari lanskap yang utuh, tersambung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Konektivitas hutan taman nasional dengan wilayah HPT ini menjadi koridor utuh yang memberi ruang hidup bagi burung maleo untuk meletakkan telur-telurnya di tempat yang diinginkan, wilayah yang memiliki panas bumi.

Kepada panas bumi inilah burung ini menyerahkan telurnya untuk ditetaskan.

Di Batumanangis ini dijumpai pasangan maleo yang datang untuk bertelur. Burung-burung ini bergantian menggali tanah dengan kaki besarnya yang kuat, mencakari tanah yang hangat di antara bongkahan batu karang.

Tidak jauh dari lokasi ini terdapat mata air panas yang terus mengalir.

Sejak tahun 2018, Basri dan petani aren lainnya bersepakat untuk melestarikan burung endemik Pulau Sulawesi ini. Burung berwarna putih di bagian bawah dan hitam di bagian punggung ini banyak dijumpai saat para petani berangkat ke kebun.

“Setiap hari kami mendapatkan 1-2 butir, lalu kami pindahkan ke hatchery, belum banyak. Namun kami lakukan dengan rasa sayang, ini amanat dari para leluhur kami,” tutur Basri.

Di sela aktvitasnya sebagai petani mengolah ladang, Basri setiap pagi memeriksa lubang peneluran, menggali tanah untuk mencari telur maleo.

Telur yang didapat akan dipindahkan ke hatchery darurat yang dibuatnya. Posisi meletakkan telur ini harus sama dengan saat ia menemukan.

Di dalam hatchery ini telur maleo aman dari incaran biawak, bahkan saat menetas dan keluar dari dalam tanah anak maleo tetap terlindungi sebelum dilepasliarkan ke hutan.

Kesetiaanya pada maleo ini juga mengantarkannya berkenalan dengan para peneliti, ia pernah menemani tamu dari Malaysia yang melakukan riset burung gosong (Megapodius cumingii).

Basri dianggap memiliki kemampuan mengelola pelestarian jenis burung ini, setidaknya ia sukses menetaskan 32 butir telur burung gosong.

“Masa menetasnya sama dengan maleo, sekitar 65 hari,” tutur Basri.

Petani aren

Modaga no suangge beranggotakan 25 orang petani. Mereka berasal dari Dusun 1, 2 dan 3 Desa Molibagu, Sebagian lagi berasal dari Desa Popodu.

Para petani ini memanfaatkan aren yang banyak tumbuh ladang. Setiap hari puluhan liter dapat dipanen untuk diolah menjadi gula aren.

“Mulai jam 5 pagi para petani bersiap ke kebun. Tidak jarang mereka berjumpa burung maleo saat melintas,” tutur Basri.

Sebagai petani aren, ia tetap menjalani kehidupan dengan sederhana. Setiap hari anggota Modaga no suangge juga setia mengolah aren. Dari beberapa pohon mereka bisa mendapatkan 50 liter nira segar.

Diakuinya setiap pohon tidak memiliki hasil yang sama, mulai dari 3 liter hingga 10 liter.

“Para petani mengambil nira setiap pagi dan sore, kalau pagi tidak boleh terlambat,” ungkap Basri.

Keterlambatan mengambil dapat menyebabkan air nira keruh, cepat asam, tidak layak diolah menjadi gula aren.

“Gula aren kami jual 25 ribu per kilogram, ada pedagang yang datang setiap minggu. Gula semut juga mulai dirintis oleh kelompok kami,” tutur Basri.

Gula semut memiliki nilai jual yang lebih tinggi, untuk setiap 250 gr dijual ke masyarakat dengan harga Rp20 ribu.

Untuk pengambilan yang banyak, seperti para pemilik rumah makan atau kafe, mereka para petani memberikn diskon khusus.

Hein, salah satu anggota kelompok yang giat memelopori pembuatan jenis gula ini.

Sebagai petani gula aren, Basri dan anggota modaga no suangge dengan ritme kehidupannya sehari-hari.

Setiap pagi ia setia dengan hari-harinya di ladang, memindahkan telur-telur maleo ke hatchery. Ia merasa bangga mampu melaksanakan amanah leluhurnya.

Ia juga merasa senang karena sudah tidak ada lagi pencurian telur oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Ia mengaku sejak telur ini dikelola, pencurian telur langsung terhenti.

Dulu, para pemburu ayam hutan yang acap keluar masuk hutan menjadi ancaman maleo. Mereka memasang jerat dan mengambil telur maleo.

Satwa apapun yang didapat akan dibawa pulang. Seiring menguatnya peran kelompok Modaga no suangge ini para pemburu satwa mulai berkurang.

Basri Lamasese sebagaimana para petani desa lainnya, ia juga memiliki keluarga dan hidup berbahagia.

Istrinya, Rahma Anda (49) adalah ibu rumah tangga yang mendukung upaya suaminya melestarikan maleo.

Pasangan ini dikaruniai 4 anak, mereka adalah Gita Cahyani Lamasese, Gusnadi Lamasese, Fatra Nurizan Lamasese dan si bungsu Khinta Cahyana Lamasese. Dari anaknya yang pertama ia sudah dikarunia 2 orang cucu.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/23/101041278/pesan-gaib-ratu-deku-untuk-menjaga-maleo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke