Pengalaman yang sama juga dialami Prabu saat mendaftarkan sekolah putrinya, Evangeline Yisrael Dian Nugroho (13) sejak Taman Kanak-kanak (TK).
Icha-panggilannya-mau tidak mau harus mengikuti salah satu pilihan agama yang sudah ditentukan oleh sekolah.
Prabu mengisahkan, putrinya semata wayangnya itu sekolah di sebuah TK di pusat Kota Magelang, Jawa Tengah.
Prabu sempat menanyakan kepada guru TK tersebut perihal agama yang harus dipilih oleh anaknya.
"Saya tanya sama guru TKnya, apakah di TK ada pelajaran agama sedangkan TK tersebut adalah umum. Dia menjawab, ada pelajaran rohani jadi anak harus memilih mau ikut agama apa, kalau mau sekolah di sini harus memilih," kata Prabu, di rumahnya di Dusun Jetis, Desa Pagersari, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Baca juga: Cerita Para Pengajar Penghayat Kepercayaan, Mengajar Tanpa Bayaran: Paling Utama Regenerasi
Dengan perasaan mengalah, Prabu akhirnya mengisi kolom agama Kristen karena tidak tersedia kolom agama Penghayat Kepercayaan. Kristen adalah agama yang dianut oleh kakek Icha.
Kejadian berulang ketika putri semata wayangnya itu masuk SD Negeri di Kota Magelang dan berlanjut saat masuk SMP Negeri di Kabupaten Magelang. Jawaban pihak sekolah pun serupa, siswa harus memilih agama yang sudah ditentukan agar dia bisa bersekolah dan mendapatkan nilai agama.
"Ketimbang anakku enggak sekolah, enggak dapat nilai seperti teman-temannya yang lain," ungkap Prabu.
Walaupun demikian, Prabu bersyukur, selama mengikuti pelajaran agama Kristen, anaknya tidak mendapatkan kendala berarti karena lingkungan sekolahnya mendukung.
Prabu menyadari, setiap anak berhak memilih sesuai dengan keinginan dan keyakinannya sendiri, bukan karena pilihan orangtuanya.
Akan tetapi, sebelum berusia 12 tahun anak semestinya mengikuti keyakinan orangtua sebagaimana tertuang dalam Pasal 42 ayat (2) UU Perlindungan Anak.