Dia mempertanyakan perihal pertanggungjawaban jika terjadi konflik sosial di tengah masyarakat.
“Siapa yang akan bertanggung jawab kalau terjadi konflik sosial antara masyarakat adat yang terkena dampak dan menolak dengan masyarakat yang setuju tapi tidak punya hak atas tanah adat dimaksud,” sambungnya.
Ia mengatakan, aksi penolakan oleh masyarakat adat bertujuan menegaskan kembali bahwa pemerintah wajib menghormati hak-hak masyarakat adat sesuai dengan hak konstitusinya.
Namun, masyarakat adat tidak serta merta menolak rencana pembangunan waduk. Hanya saja mereka memberikan dua lokasi alternatif yakni Malawaka dan Lowo Pebhu .
“Harapan saya kepada pihak-pihak terkait untuk menghentikan melakukan tindakan kegiatan rencana pembangunan waduk Lambo pada lokasi yang ditolak warga yakni Lowo Se," kata dia.
Dia pun meminta agar kepolisian bisa menghormati masyarakat adat.
"Saya juga sangat berharap agar kepolisian negara untuk mengayomi, melindungi, dan menghormati masyarakat adat yang berjuang mempertahankan hak-hak atas tanah adat yang juga warisan leluhurnya,” kata Philipus.
Baca juga: Ini Daftar Wilayah PPKM Level 2 di NTT dan NTB hingga 4 Oktober
Willybrodus Bei Ou, warga setempat, mengatakan, petugas yang masuk yang masuk ke lokasi pembangunan waduk Lambo pada Sabtu (19/9/2021) itu adalah tim Balai Wilayah Sungai (BWS) NT II Kupang dan dari Dinas Pekerjaan Umum.
Kedatangan mereka juga dikawal ketat oleh aparat Brimob dari Kupang.
Ia mengungkapkan, masyarakat menolak pembangunan waduk tersebut, karena dampak kerugian bagi masyarakat sangat besar.
Masyarakat kehilangan lahan pertanian, pemukiman penduduk, padang ternak, tempat-tempat ritual, kuburan sarana dan prasarana umum.
“Masyarakat bukan menolak pembangunan, tetapi masyarakat menyoalkan lokasi pembangunan waduk yang berlokasi di Lowo Se. Masyarakat menawarkan dua lokasi alternatif yaitu di Lowo Pebhu dan Malawaka,” ungkap Willybrodus melalui sambungan telepon, Selasa sore.
Baca juga: Sekolah di Kupang Dirusak Orang Tak Dikenal, Polisi: Pelaku Memakai Topeng
Pihaknya menduga, BWS NT II Kupang dan Pemda Nagekeo sudah membohongi masyarakat terdampak dan pemerintah pusat, karena proses yang dilakukan sejak muncul wacana dari tahun 2015 hingga kini tidak pernah transparan.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan BWS dan Pemda dilakukan secara paksa.
Kegiatan yang mereka lakukan tanpa sepengetahuan dan izin dari masyarakat terdampak.
“Kita menduga bahwa BWS dan Pemda Nagekeo telah merekayasa data pengukuran dan memberikan laporan palsu kepada pemerintah pusat,” ungkap dia.
Ia mengatakan, hingga kini masyarakat terdampak masih berjaga-jaga di wilayah adat mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.