KOMPAS.com - Maria Loretha atau yang akrab dipanggil Mama Sorgum tak bisa dilepaskan dari tanaman sorgum yang mulai diminati para petani di Flores Timur.
Perempuan yang juga dikenal dengan sebutan Mama Sogum ini, bekerja cukup keras untuk membuat sorgum kembali menjadi panganan masyarakat lokal.
Kegiatannya berkali-kali diganjar pengghargaan pangan, baik tingkal lokal, nasional, maupun internaisonal.
Baca juga: Mencoba Nasi Sorgum, Alternatif Nasi Padi untuk Makanan Pokok
Dikutip dari akmindonesia.org, dijelaskan Maria Loretha kembali “melahirkan” sorgum ke puncak tertinggi panganan pokok masyarakat di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Sejak tahun 2004, Maria Loretha bersama dengan suami dan lima anaknya mulai menanam sorgum. Kemudian pada tahun 2007, Maria Loretha berhasil membudidayakan sorgum dan menularkannya pada warga di desanya.
Baca juga: Cara Masak Sorgum Jadi Pengganti Nasi Padi, Pakai Rice Cooker
Cerita ini berasal dari dari suku Lamaholot yang mendiami daratan Flores Timur, Pulau Adonara, Lembata sampai Alor.
Dikutip dari nationalgeographic.grid.id, dahulu kala ada seorang perempuan yang mengorbankan dirinya agar semua anggota keluarganya tidak mati kelaparan pada pertengahan musim kering hebat yang menimbulkan paceklik.
Menurut Romo Benyamin Daud, ada banyak versi cerita tentang Tonu Wujo.
Baca juga: 4 Manfaat Sorgum sebagai Pengganti Beras
Banyak yang meyakini mitologi ini berasal dari daratan Flores Timur, bukan dari kepulauan.
Romo Benya, begitu panggilannya, adalah seorang pastor dari Keuskupan Larantuka.
Melalui Yayasan Pembangunan Ekonomi Keuskupan Larantuka (Yaspensel) yang ia dirikan, Romo Benya ditugaskan untuk memberdayakan para petani dan panganan lokal di Flores Timur.
“Ada cerita tradisi di Flores ini tentang satu keluarga, tujuh bersaudara. Satu di antaranya adalah perempuan, Tonu Wujo,” tutur Romo Benya.
Baca juga: Mengenal Sorgum, Bahan Makanan yang Kaya Nutrisi
Semua penduduk kelaparan. Sesuai dengan kepercayaan masa lalu, kondisi ini memerlukan tumbal untuk menghilangkan hal yang dianggap sebagai malapetaka ini.
Maka Tonu Wujo kemudian rela mengorbankan dirinya agar semua anggota keluarganya selamat dari bencana kelaparan.
“Akhirnya mereka mengantar adik perempuannya ke ladang untuk dibuat upacara,” lanjut Romo Benya.
Baca juga: Cerita Dicky Kenalkan Makanan Tradisional NTT, dari Sei, Sorgum hingga Sambal Luat
Meski begitu, anggota keluarga Tonu Wujo juga dikisahkan sangat berat hati untuk mengorbanan saudarinya.
Sebelum pengorbanan terjadi, Tonu Wujo berpesan bahwa nanti akan tumbuh semua jenis tanaman pangan seminggu setelah kematiannya.
Kemudian masih dalam cerita yang sama, munculah berbagai tanaman pangan dari tubuhnya yang terbaring di ladang.
“Darahnya menjadi padi, tulang belulangnya menjadi sorgum. Sehingga disebut Wata Belolong (bahasa Lamaholot) karena dia tinggi seperti tulang-tulang,” cerita Romo Benya dengan penuh semangat.
Baca juga: Apa Itu Sorgum? Alternatif Makanan Pokok Selain Beras
“Ada benih padi yang dari darah disimpan, akhirnya berkembang sampai saat ini dikenal dengan benih padi Besi Pare Tonu Wujo di sini,” ucap Romo Benya.
Hingga kini, benih Besi Pare Tonu Wujo masih menjadi benih andalan warga Flores Timur.
Bagi masyarakat setempat, benih lokal lebih tahan hama dan lebih tahan ketika disimpan dalam jangka panjang. Meski begitu, waktu panennya tidak secepat dan sesering benih padi saat ini.
Dengan latar belakang kisah ini, tidak heran bila perjuangan Mama Tata mendapat tempat khusus di hati para petani Flores Timur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.