KOMPAS.com - Seorang pemuda asal daerah pegunungan Nusa Tenggara Timur (NTT) menarik perhatian ribuan warganet dengan kepiawaiannya mengolah dan memperkenalkan makanan lokal.
Ia bermimpi suatu saat nanti, tak ada lagi gizi buruk di provinsi dengan angka stunting tertinggi di Indonesia itu.
Sekitar jam makan siang, foto-foto makanan yang tertata cantik kerap menghiasi akun media sosial Dicky Senda, pemuda asal Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, NTT.
Baca juga: 15 Tempat Kuliner Legendaris di Malang Raya, Ada yang Berusia Hampir 100 Tahun
Dalam satu unggahan, ia memamerkan foto pizza yang dibuatnya pada lebih dari 10.000 pengikutnya di Twitter.
Pizza itu berhiaskan pisang, tomat, juga se'i (daging asap) sapi yang dibuatnya sendiri sehingga mustahil ditemukan di gerai-gerai penjual pizza di kota besar.
Laki-laki berumur 33 tahun itu menuliskan, semua bahan, kecuali keju, dibuatnya sendiri—termasuk tepung fermentasi singkong sebagai bahan adonan.
Di lain waktu, pendiri komunitas kewirausahaan sosial Lakoat. Kujawas itu mengunggah foto sayuran berwarna-warni yang didapatnya dari lingkungan sekitar.
Baca juga: 5 Kuliner Malam di Cirebon, dari Bubur Sop sampai Nasi Lengko
Di antaranya ada tomat, bunga rosela, juga daun kemangi.
"Iris semua bahan, campur dengan sambal lu'at belimbing wuluh fermentasi dengan usia 6 bulan. Beta ambil airnya saja untuk sensasi pedas dan harum sambal lu'at. Sudah enak banget ini," kata Dicky di akun Instagramnya.
"Kalau cek ke medsos katering panganan sehat dan organik, menu beginian bisa seharga Rp45.000-50.000 per porsi kecil.
"Sementara di sini, siapa yang peduli. Tabuang-buang sonde (tidak) ada nilai."
Baca juga: Tutut Mang Oded, Kuliner Unik di Bandung
Namun tak hanya meramu kata, ia kini sibuk meramu bahan pangan bersama dengan komunitas bentukannya: Lakoat.Kujawas.
Awalnya, komunitas bentukannya ini fokus pada literasi, kebudayaan dan seni, serta ekonomi kreatif.
Belakangan, komunitas ini juga mengarsip pengetahuan lokal terkait pangan dan kuliner.
Baca juga: 5 Tempat Kuliner di Yogyakarta yang Viral di TikTok, Ada Lupis Mbah Satinem
Dicky menceritakan kecintaannya pada dunia masak memasak menurun dari neneknya, orang pertama yang kata Dicky membuka warung makanan di daerahnya.
Mollo, ujarnya, dulu merupakan daerah yang ramai didatangi pedagang cendana, sapi, hingga madu.
Banyak juga pedagang-pedagang China yang mencari peruntungan di sana, hal yang kemudian mempengaruhi cara orang-orang Mollo mengolah makanan mereka.
Masih jelas di memorinya rasa biskuit buatan neneknya, yang diyakini Dicky terpengaruh cara memasak China dan Belanda saat itu.
Baca juga: 7 Tempat Kuliner di Cikini, Ada Pempek Megaria dan Tjikinii Lima
"Itu menjadi tradisi keluarga. Saya juga sedang belajar bagaimana supaya biskuit yang saya buat seenak yang dibikin nenek saya," katanya.
Melihat ke masa lalu tak hanya membantunya melestarikan resep-resep lama, tapi juga menemukan kembali bahan-bahan makanan yang seakan menghilang karena jarang digunakan.
Salah satunya, sorgum, tanaman yang cocok tumbuh di lahan NTT yang kering.
Baca juga: Apa Itu Sorgum? Alternatif Makanan Pokok Selain Beras
Dari orang-orang tua di daerahnya, Dicky, yang sebelumnya berprofesi sebagai guru itu, mendapat informasi bahwa dulu sorgum adalah salah satu makanan andalan penduduk.
Namun, ketergantungan yang kuat pada nasi, yang dimulai tahun 1980-1990'an, membuat lambat laut sumber makanan itu makin jarang ditanam warga.
Padahal, menurut data Profil Kemiskinan di Provinsi NTT Maret 2020, beras merupakan komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di pedesaan di provinsi tersebut.
Kecukupan stok beras di daerah itu pun masih ditutupi dari luar pulau.
Baca juga: 5 Tempat Kuliner di Pare Kediri yang Perlu Kamu Coba, Ada Pecel Tumpang