Alkisah, diceritakan Pulau Jawa terombang-ambing bagaikan daun padi dihempas ombak.
Melihat itu, dewa sepakat memantek Pulau Jawa dengan memenggal puncak Gunung Meru di India.
Untuk membawanya, Dewa Brahma berubah menjadi kura-kura raksasa dan Dewa Wisnu berubah menjadi ular untuk mengikat gunung itu.
Ditulis dalam Kitab Tantu Panggelaran yang ditulis pada pertengahan abad XV, penulis yang tak dsebutkan namanya menceritakan puncak Gunung Meru rencananya akan diletakkan di sebelah barat Pulau Jawa.
Baca juga: Kapan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Buka?
Namun akibatnya Pulau Jawa njomplang dan patah.
Puncak gunung itu pun kemudian dipindahkan ke timur. Di tengah perjalanan, gunung itu berceceran dan mejadi gunung-gunung di Jawa seperti Lawu, Kelud, Kawi, Welirang, dan Arjuna.
Potongan puncak tersebut diletakkan dan menjadi Gunung Semeru. Karena posisinya miring dan bagian bawahnya tidak rata karena sempal, maka diganjal dengan Gunung Bromo.
Sejak dipantek, Pulau Jawa tenang dan bagi kalangan pemeluk Hindu, kedua gunung itu dipandang suci yakni Gunung Semeru dan Gunung Bromo.
Baca juga: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Perpanjang Waktu Penutupan
Keduanya berada dalam satu kawasan dengan Pegunungan Tengger, yaitu deretan gunung antara lain Widodaren, Watangan, Kursi, Sepolo, dan Ayeg-ayeg. Kawasan itu ditetapkan menjadi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) tahun 1982.
Di sekitar Gunung Bromo menjadi tempat tinggal masyarakat Tengger.
Mereka tersebar di lebih dari 20 desa di Kecamatan Tosari dan Puspo (Kabupaten Pasuruan), Ngadisari dan Sukapura (Kabupaten Probolinggo), dua desa di Kabupaten Malang, serta Desa Ranu Pani di Kabupaten Lumajang.
Baca juga: Khofifah Akan Integrasikan Bromo Tengger Semeru dengan Destinasi Wisata Lain