Menurut dia, saat ini adalah masa suram bagi perajin rebana.
"Sebelum pandemi setiap bulan bisa dapat pesanan hingga lima set, tapi sejak setahun lalu, sangat sepi. Bahkan belum tentu dalam tiga bulan ada pesanan, hanya mengandalkan yang servis untuk pemasukan," jelasnya.
Menurut Khamim yang menjadi perajin rebana sejak 1994, meneruskan usaha orangtuanya, pandemi Covid-19 adalah yang terberat.
"Dulu bisa melayani pesanan dari Sumatera hingga daerah-daerah di Jawa, sekarang sangat sepi. Kulit mentah yang dulu per lembar Rp 50.000, sekarang juga hanya Rp 30.000, karena tidak laku jadi dijual murah," paparnya.
Baca juga: Pandemi Corona bagi Petani Jahe, Awalnya Membawa Berkah, Kini Bikin Gundah
"Ya memang sepi karena rebana ini termasuk hiburan. Kalau dimainkan setidaknya butuh 10 orang dan penontonnya banyak. Padahal selama Covid-19 pemerintah melarang adanya hiburan karena menyebabkan kerumunan," kata Khamim.
Satu yang pasti, kata Khamim, dia akan tetap setia menjadi perajin rebana karena di usia senjanya tak ada lagi keterampilan lain yang bisa dilakukan.
Satu rebana dicobanya, dipukul di berbagai sisi untuk mendapatkan komposisi suara yang pas. Dari tabuhan dan suara itu, Khamim berharap kehidupan yang lebih baik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.