Salin Artikel

Cerita Perajin Rebana Coba Bertahan di Tengah Impitan Pandemi

Di usia sepuhnya, warga Kelurahan Lodoyong, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, ini masih setia membuat rebana meski pesanan tak lagi stabil.

Sesekali dia menyeka keringat yang meluncur di dahinya.

Setelahnya, kulit itu direndam dalam air yang sudah diberi pemutih selama kurang lebih lima hari.

"Ini pembersihan kulit, setelah direndam nanti dijemur hingga kering lalu dibentuk sesuai kayu untuk rebana," jelasnya, Kamis (15/4/2021).

Untuk kayunya, Khamim menggunakan mahoni atau nangka.

"Kayu yang masih balok dibentuk sesuai ukuran, kemudian disesuaikan dengan kulit. Lalu di-press dan finishing," kata Khamim.

Dikatakan, untuk membuat rebana satu set membutuhkan waktu setidaknya dua pekan.

"Itu sudah komplit termasuk yg biasa dan jenis bas, ada empat item. Kalau yang versi modern lebih lengkap, sampai enam item," jelasnya.

Untuk harga, satu set dihargai Rp 3,2 juta hingga Rp 6,5 juta, tergantung kekomplitan pesanan rebana.

"Selain rebana baru, juga melayani perbaikan rebana dan bedug, biayanya mulai Rp 100.000," kata Khamim.


Menurut dia, saat ini adalah masa suram bagi perajin rebana.

"Sebelum pandemi setiap bulan bisa dapat pesanan hingga lima set, tapi sejak setahun lalu, sangat sepi. Bahkan belum tentu dalam tiga bulan ada pesanan, hanya mengandalkan yang servis untuk pemasukan," jelasnya.

Menurut Khamim yang menjadi perajin rebana sejak 1994, meneruskan usaha orangtuanya, pandemi Covid-19 adalah yang terberat.

"Dulu bisa melayani pesanan dari Sumatera hingga daerah-daerah di Jawa, sekarang sangat sepi. Kulit mentah yang dulu per lembar Rp 50.000, sekarang juga hanya Rp 30.000, karena tidak laku jadi dijual murah," paparnya.

"Ya memang sepi karena rebana ini termasuk hiburan. Kalau dimainkan setidaknya butuh 10 orang dan penontonnya banyak. Padahal selama Covid-19 pemerintah melarang adanya hiburan karena menyebabkan kerumunan," kata Khamim.

Satu yang pasti, kata Khamim, dia akan tetap setia menjadi perajin rebana karena di usia senjanya tak ada lagi keterampilan lain yang bisa dilakukan.

Satu rebana dicobanya, dipukul di berbagai sisi untuk mendapatkan komposisi suara yang pas. Dari tabuhan dan suara itu, Khamim berharap kehidupan yang lebih baik.

https://regional.kompas.com/read/2021/04/15/163816678/cerita-perajin-rebana-coba-bertahan-di-tengah-impitan-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke