Bahkan, tak sedikit ajakan, baik itu teman ataupun kerabat untuk bekerja keluar negeri karena dinilai lebih menjanjikan. Tapi semua itu dia tolak.
“Sejak berhenti sekolah, saya mulai belajar menenun. Usia 20 tahun, saya mulai mencari upahan menenun kain,” cerita Budiana.
Setelah beberapa tahun hanya mendapat upah dari menenun kain orang, Budiana mulai berpikir ke depan.
Hingga akhirnya, di pertengahan 1993, dia membulatkan tekad untuk merintis usaha tenunnya sendiri dan dinamakan: Barkat Songket.
Baca juga: Berkunjung ke Bangka Belitung, Istri Menteri Desa Diperkenalkan Kain Tenun Cual
Sama halnya dengan usaha kecil menengah lain yang dibangun hanya dengan modal keterampilan tanpa dukungan uang cukup serta pemasaran yang baik, Budiana memulai itu semua sendirian. Dia tenun dan pasarkan kain songketnya sendiri.
“Saat itu, hasil tenun dijual kepada pedagang pengumpul. Ada juga dijual langsung ke konsumen,” ucap Budiana.
Saat itu, kenang Budiana, sebagai penenun, dia belum memiliki jaringan pemasaran di luar Kabupaten Sambas.
Demikian pula dengan para perajin lainnya, sehingga harga jual songket Sambas lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul.
Selama 13 tahun, Budiana menjalankan usaha tenun secara mandiri di rumah.
Baca juga: Makna Tersembunyi di Balik Tenun Cual, Kekayaan Tradisi sejak Zaman Belanda
Dia perlahan merasakan manfaat besar untuk membantu perekonomian keluarga tanpa harus menjadi pekerja migran.
Kemudian, tepatnya 2006, Barkat Songket berani merekrut penenun lain. Namun konsepnya bukan sebagai karyawan, melainkan mitra binaan.
“Sampai dengan saat ini, ada 20 mitra binaan atau penenun kain Barkat Songket,” ungkap Budiana.