PANGKALPINANG, KOMPAS.com - Sejarawan Pangkalpinang Akhmad Elvian mengatakan, pada kampung-kampung lama di Kota Muntok, tumbuh dan berkembang tenunan kain cual yang dikerjakan kaum perempuan.
Ini tak lepas dari sejarah Kota Muntok yang berstatus keresidenan dan Belanda telah berhasil memadamkan perlawanan Depati Amir pada sekitar 1851.
"Setelah keberadaan Inggris pada 1812 sampai 1816, maka kemudian Belanda menguasai Bangka. Pada 1865, Belanda menetapkan Pulau Bangka atas 10 distrik. Masing-masing distrik dikepalai administrateur district (berkebangsaan Belanda), dibantu seorang demang (pribumi) dan di bawahnya beberapa kepala onderdistrict yang bergelar batin yang kemudian membawahi beberapa kepala kampung (gegading)," ujar Elvian kepada Kompas.com.
Baca juga: Berburu Tenun Cual Kuno, Mengunci Sejarah, Merawat Tradisi
Elvian menuturkan, Kota Muntok sebagai tempat kedudukan Residen Bangka terkenal karena berbagai kemajuannya.
Perempuan-perempuan dalam Kota Muntok terutama yang tinggal di kampung-kampung seperti Kampung Pemuhun dan Kampung Patemun (sekarang Teluk Rubiah) pada masa itu pekerjaannya adalah bertenun.
Mereka membuat kain dan selendang dari sutra.
Ada juga yang dicampur dengan benang emas, terutama untuk pakaian perempuan.
Kain tenun Mentok itu disebut dengan nama kain cual.
Baca juga: Kisah Tenun Cual Khas Bangka, Meredup karena Perang Dunia
Kain ini kemudian diperdagangkan ke negeri lain seperti ke Palembang, Pulau Belitung, Pontianak, Singapura dan pada bagian lain tanah melayu.
Harga selembar kain cual yang berbentuk selendang berkisar paling murah f 25 - sampai f 100 (mata uang gulden Belanda).
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan