NGANJUK, KOMPAS.com – Raja Hayam Wuruk bisa disebut sebagai raja termasyhur di Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan saat Hayam Wuruk memerintah.
Saat itu, Hayam Wuruk didampingi Mahapatih Gadjah Mada. Mereka berhasil menyatukan sebagian besar wilayah di nusantara.
Hayam Wuruk mulai memimpin Kerajaan Majapahit pada 1350 Masehi. Ia merupakan raja keempat dalam sejarah kerajaan terbesar yang pernah ada di wilayah Nusantara itu.
Raja bergelar Rajasanagara ini wafat pada 1389 Masehi, setelah 39 tahun memimpin Majapahit.
Pegiat sejarah dari Komunitas Pencinta Sejarah Nganjuk (Kota Sejuk), Sukadi menjelaskan, setelah jenazah Hayam Wuruk dikremasi, sebagian abunya didharmakan di Paramasakapura atau lebih dikenal dengan Candi Ngetos di kaki Gunung Wilis.
“Dalam pendharmaan (penghormatan) tersebut (abu kremasi Hayam Wuruk) yang disimpan (di Candi Ngetos) cuma sebagian,” kata Sukadi kepada Kompas.com, Senin (15/3/2021).
Baca juga: Positif Covid-19, Wagub NTB: Keadaan Saya Baik-baik Saja dengan Kategori Tanpa Gejala
Candi Ngetos berada di barat Jalan Raya Ngetos, tepatnya di Dusun Ngetos, Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Lokasinya berada di barat daya dan berjarak kurang lebih 14 kilometer dari ibu kota Kabupaten Nganjuk.
Bangunan Candi Ngetos dibangun dari bata merah, khas bangunan di era Majapahit. Kini, beberapa bagian bangunan candi sudah rusak dan hilang, sementara yang tersisa tinggal induk candi seluas sembilan meter persegi dengan tinggi 10 meter.
Juru pelihara Candi Ngetos, Aris Trio Effendi mengatakan, dulu wilayah Ngetos dikenal sebagai tanah suci. Aris mengatakan, Negeri Ngatas Angin Ngetos merupakan salah satu pusat peradaban agama Hindu di wilayah Kerajaan Majapahit.
“Di sini (dahulu) tempat peradaban agama Hindu yang terbesar, dan di dalamnya itu (tinggal) tokoh-tokoh Hindu terkenal, seorang resi atau pendeta-pendeta yang terkenal,” jelas Aris saat dtemui Kompas.com di kediamannya di Ngetos.
Sebelum meninggal, kata Aris, Raja Hayam Wuruk berwasiat didharmakan di tanah suci kaki Gunung Wilis, Ngetos.
“Pendharmaan dapat juga disebut penghormatan kepada sesuatu atau seseorang yang kita agungkan,” sebut Aris.
Adapun Candi Ngetos yang ada merupakan candi pendharmaan saja, yang tujuan dibangunnya agar kelak warga tetap mengenang sosok Hayam Wuruk.
“Itu (abu kremasi disimpan di Candi Ngetos) hanya pendapat orang luar saja, tapi secara tertulis tidak ada bukti,” tutur Aris.
Aris menuturkan, warga Ngetos tak ada lagi yang beragama Hindu, mayoritas warganya muslim.
Baca juga: Cerita Aris Sang Kolektor Koin Majapahit Kuno, Tolak Tawaran Jual Rp 5 Juta Per Keping
Meski begitu, Candi Ngetos masih tetap terpelihara dengan baik dan masih aktif dipakai sebagai tempat peribadatan umat Hindu.
“Masih aktif (dipakai tempat peribadatan) hingga sampai sekarang,” ujar Aris.
Menurut Aris, biasanya umat Hindu di Kabupaten Nganjuk dan luar kota datang ke Candi Ngetos untuk beribadah di hari-hari tertentu.
Mereka, kata Aris, berkunjung sebelum hari raya agama Hindu seperti Nyepi dan Kuningan.
“Kemarin sebelum nyepi itu juga datang (umat Hindu untuk beribadah di Candi Ngetos). Mereka dari luar kota, ada Jawa Tengah, Jawa Barat, banyak nggak hanya terbatas orang Nganjuk saja,” jelas Aris.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.