"Di situ ada perbedaan pendapat yang cukup rumit. Makanya perempuan jangan naik dengar itu, perempuan tidak boleh dengar. Ini sebatas laki-laki."
Baca juga: Seluruh Kabupaten dan Kota di Papua Telah Mulai Vaksinasi Covid-19
"Jadi perempuan itu dikatakan orang yang paling bersih, dia tidak boleh dengar kata-kata kasar dan itu dijaga sekali dalam prinsip-prinsip hukum adat kami karena mereka orang utama dalam kehidupan di kampung," ungkap Ori.
Ia pun menganggap Hutan Perempuan yang terus lestari selama tujuh generasi dengan tradisi yang menyertainya adalah sesuatu yang "mistik".
"Nggak boleh kita cerita ke suami atau orang lain, atau laki-laki lain atau perempuan lain yang tinggal di rumah, kecuali dia ke sana (Hutan Perempuan), baru dia tahu. Itu mistiknya dan itu rahasia, dan mengandung prinsip-prinsip perempuan."
Baca juga: Kisah Sigit Arifianto, Guru di Papua yang Membangun Edutech Lister
Mama Ani menuturkan makin sedikit perempuan muda Enggros yang peduli untuk melestarikan tradisi Hutan Perempuan. Sehingga tumpuan harapan pelestarian, kini berada di pundak mama-mama Enggros yang telah lanjut usia.
"Mungkin ada satu, dua orang yang bisa ingat, dia waktu kecil sedang ikut mamanya, dia tahu [tentang hutan perempuan. Tapi sebagian besar sudah makin menghilang."
"Mungkin nanti hutan ini mama-mama kami yang ada ini saja, mungkin hilang di situ," tutur Ani.
Baca juga: Usai Pelantikan Bupati Asmat di Jayapura, Massa di Kota Agats Rusak Rumah Dinas hingga Kantor KPU
Mama Prisilla beralasan, kebanyakan perempuan muda "gengsi" untuk mencari kerang di hutan bakau.
Sementara Orgenes mengatakan perbedaan pola pikir menjadi penyebab makin sedikitnya remaja Enggros yang melestarikan Hutan Perempuan.
Selain memilih untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, perempuan muda Enggros banyak yang memilih keahlian lain, seperti menganyam dan atau berdagang.
"Dulu mereka [ke hutan perempuan], karena keahlian mereka di bidang itu saja. Sekarang berubah, akhirnya [jumlah] mereka berkurang ke hutan perempuan. Ini yang membuat perempuan Enggros mendapat ancaman lebih keras di tengah pembangunan," jelas Ori.
Baca juga: Akibat Cuaca Buruk, Helikopter Tujuan Mimika Mendarat Darurat di Lapangan Bola di Jayapura
Perempuan berusia 33 tahun itu masih melakukan aktivitas mencari kerang di hutan bakau yang diajarkan neneknya sejak kecil.
"Itu memang sudah menjadi satu tradisi yang memang melekat pada kehidupan kami. Karena semenjak kami kecil, masa kami sekolah, itu yang menjadi mata pencaharian orang tua kami," jelas ibu dari tiga anak ini.
"Saya belajar untuk tahu, akhirnya jadi kebiasaan saya. Ketika saya berkeluarga, itu juga jadi mata pencaharian saya," lanjutnya.
Baca juga: Periksa Jalan Trans Papua Ruas Jayapura-Wamena, Wamen PUPR: Ada yang Rusak dan Berlumpur
Sayangnya, dari hari ke hari hasil tangkapannya terus berkurang. Ia kerap harus kembali ke Hutan Perempuan beberapa kali, sebelum akhirnya menjual kerang tangkapannya ke pasar.
"Kalau memang tidak mencukupi, kita simpan dulu. Kita gantung di bawah kolong rumah, itu kan ada jaring yang dijahit model seperti sarung, diisi, digantung, tinggal di bawah.
"Besok kita cari lagi. Begitu dan seterusnya sehingga hasilnya cukup, lalu kita jual," katanya.
Satu tumpuk bia noor ukuran besar, biasanya ia jual seharga Rp 50.000. Sementara ukuran lebih kecil, ia jual Rp 25.000 per tumpuk.
Baca juga: 3.464 Tenaga Kesehatan di Kota Jayapura Mulai Divaksin Covid-19
"Kalau memang tidak ada uang untuk beli sayur atau bumbu, itu cukup dimasak dengan garam saja sudah enak karena rasanya memang sudah enak. Jadi tidak perlu dengan bumbu," ujar Ati.
Bagi Ati, hutan perempuan adalah "rumah" bagi perempuan Enggros yang harus dilestarikan.
"Hutan istilahnya rumah kami, khususnya kaum perempuan di kampung ini. Jadi tentunya harapan saya untuk kita mari kita sendiri harus menjaga sebagaimana mestinya," kata Ati.
"Hutan istilahnya rumah kami," kata Ati Agustina Rumboyrusi, mendeskripsikan Hutan Perempuan
Baca juga: DPO Pencari Senjata dan Amunisi untuk KKB Ditangkap di Jayapura
Senada, Mama Ani berharap agar remaja perempuan Enggros tergerak untuk melestarikan Hutan Perempuan.
"Mama mau itu mereka harus belajar juga, jadi mereka belajar untuk pertahankan hutan kami supaya jangan hutan kami hilang, supaya budaya kami pun jangan hilang."
"Mama berharap mama-mama yang lain bisa ajak anaknya untuk belajar bagaimana kehidupan dalam Hutan Perempuan ini," harap Mama Ani.
Sayangnya, Hutan Perempuan kini menghadapi beragam ancaman yang berdampak pada makin menyusutnya luasan hutan akibat pembangunan dan pencemaran lingkungan akibat sampah perkotaan yang bermuara di Teluk Youtefa.
Liputan mendalam tentang kerusakan ekosistem di Hutan Perempuan, bisa Anda simak di artikel lain yang akan diterbitkan untuk memperingati Hari Hutan Sedunia pada 21 Maret 2021.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.