Di hutan yang sunyi itu, para perempuan dengan bebas mencurahkan hati satu sama lain, menceritakan masalah yang dihadapi atau nostalgia masa lalu, sambil mendengarkan kicauan suara burung.
"Jadi kalau ada macam ketemu masalah, 'Nanti sudah ke hutan perempuan, baru di sana kita cerita'," kata Mama Ani.
Baca juga: 100 Pedagang Positif Corona, Pemkot Jayapura Tetap Buka Pasar Youtefa
Sesampainya di hutan mereka langsung menanggalkan baju sebelum menceburkan diri dan mencari kerang di sela-sela akar bakau.
"Mengapa harus begitu? Ya itu, harus begitu. Kalau tidak, gatal. Jadi harus buka pakaian."
Senada, Prisilla Sanyi, perempuan asli Enggros yang hingga kini turut melestarikan tradisi itu juga mengeluh gatal jika masuk ke dalam hutan bakau dengan mengenakan pakaian.
"Karena di sana itu pecek. Kalau kita dengan pakaian turun ke sana kan pecek itu masuk ke dalam pakaian. Jadi dari dulu begitu."
"Kami juga coba turun pakai pakaian, badannya gatal. Itu karena pecek," jelas perempuan berusia 65 tahun itu.
Baca juga: 100 Pedagang Positif Corona, Pemkot Jayapura Tetap Buka Pasar Youtefa
"Jadi dong kalau turun polos. Itu sudah tradisi dari dulu orang di sini."
Mama Prisilla juga menambahkan para perempuan memilih untuk menghabiskan waktu bersama di Hutan Perempuan sebab di kampung, mereka merasa tidak memiliki kebebasan berbicara.
"Di para-para besar itu, kalau ada rapat besar-besaran laki-laki dan perempuan dipanggil untuk rapat. Laki-laki duduk di para-para adat, perempuan duduk di para-para rumah saja."
"Jadi kalau ada masukan-masukan, laki-laki saja yang bicara, perempuan tidak boleh bicara," jelas Prisilla.
Baca juga: Viral Jembatan Youtefa Dikenai Tarif, Ini Penjelasan Kementerian PUPR
Namun, ketika ada perempuan, adalah tabu yang bagi lelaki untuk memasuki hutan ini.
"Kalau sampai ada laki-laki yang intip, dia kena sanksi, harus denda. Kami ke para-para adat, tuntut dia harus bayar denda. Sudah tahu ada perempuan mencari, kenapa dia harus pergi ke hutan perempuan?," ungkap Mama Ani.
Baca juga: Fakta Jembatan Youtefa, Tonggak Sejarah di Papua di Hari Sumpah Pemuda...
Hal itu dibenarkan oleh John Sanyi, Ondoafi atau kepala dewan adat Kampung Enggros.
Sesuai adat di Kampung Enggros, John menjelaskan, ketika perempuan mengetahui ada pria masuk ke sana mereka berteriak serentak.
Mereka lalu melaporkan kejadian itu ke dewan adat yang akan mengadili orang tersebut dan menuntut pembayaran denda.
"Dendanya itu kita pakai manik-manik. Yang nomor satu itu warna biru. Ada tiga jenis, ada biru, hijau dan putih. Jadi kalau dendanya disini manik-manik yang nomor satu itu. Nilainya tinggi kalau di sini," jelas John.
Baca juga: Jokowi Resmikan Jembatan Youtefa, Simbol Pemersatu Bangsa
Manik-manik ini juga kerap dijadikan mas kawin bagi warga Enggros ketika menikah.
Manik-manik berwarna biru - yang menjadi denda bagi pria yang melanggar hukum adat di Hutan Perempuan - memiliki nilai paling tinggi, setara Rp 1 juta rupiah.
Sedangkan manik-manik berwarna hijau, memiliki nilai setara Rp 500.000 dan manik berwarna putih bernilai Rp 300.000.
Baca juga: Warga Jayapura Antusias Tunggu Peresmian Jembatan Youtefa
Lebih jauh, John mengungkapkan bahwa keberadaan Hutan Perempuan tak lepas dari pembagian zona dan tugas antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial penduduk Enggros.
Kaum laki-laki bertugas mencari ikan di laut, kata John, sedangkan perempuan bertugas mencari kerang di hutan bakau.
"Laki-laki mencari ikan saja di laut, pakai jaring. Kalau Hutan Perempuan itu ibu-ibu saja yang mencari udang, mencari bia di dalam sana. Jadi kalau sudah ada ibu-ibu di sana, laki-laki tidak bisa masuk," jelas John.
Baca juga: Senin Sore, Jembatan Youtefa Papua Diresmikan
"Prinsip hukum adat kita banyak atur soal perempuan, karena mereka tidak boleh diperlakukan seperti budak, mereka istimewa sekali dalam prinsip-prinsip hukum adat kami," jelas pria yang akrab disapa Ori ini.
Menurut Ori - yang pernah menjabat sebagai kepala desa di Kampung Enggros - hukum adat di kampung itu memberikan banyak perlindungan dan kebebasan pada perempuan.
Namun begitu, katanya, ada sejumlah aturan dalam hukum adat yang harus dipatuhi para perempuan.
Baca juga: Dua Mahasiswa Papua Ditangkap, Ini Penjelasan Polisi
"Perempuan diberi pembatasan dalam hukum adat kami, tidak boleh ketawa tinggi-tinggi, tidak boleh maki-maki."
Selain itu, perempuan Enggros juga tak diperkenankan berada di para-para.
Para-para adalah tempat musyawarah bagi para lelaki untuk membicarakan persoalan adat, tanah dan laut, serta berdiskusi soal politik.