KOMPAS.com - "Heh! Ko siapa?!," seru Adriana Youwe Meraudje dengan lantang ketika ia merasakan ada sekelebat bayangan di sela rerimbunan pohon bakau.
"Ko mau ambil apa? Kurang tahu malu masuk hutan perempuan!," teriaknya lagi.
Perempuan yang akrab disapa Mama Ani ini langsung menghentikan aktivitasnya mencari kerang. Buru-buru ia kenakan kembali pakaian yang ia tanggalkan sebelum mencari kerang, atau bia dalam bahasa Enggros, di hutan bakau.
"Hutan ini dibilang Hutan Perempuan [karena] khusus untuk perempuan. Tidak ada laki-laki yang boleh masuk," ujar Mama Ani, Rabu (24/3/2021).
Kaum lelaki yang berani datang ke hutan itu ketika ada perempuan di dalamnya harus membayar denda adat berupa manik-manik, barang berharga bagi warga Enggros yang mahal harganya.
Baca juga: Risma dan Khofifah Disebut Mama Papua...
Hutan itu adalah kawasan bakau yang dirawat oleh para perempuan dengan kearifan lokal secara turun-temurun.
"Hutan Perempuan sudah jadi satu dengan adat kami, jadi kami tak bisa lepaskan itu hutan," ujar Mama Ani lirih.
Mama Ani adalah salah satu dari segelintir perempuan Enggros yang melestarikan kearifan lokal di Hutan Perempuan, hingga kini.
"Daripada tinggal saja begitu to, budaya kami harus diangkat. Di dunia tidak ada hutan perempuan, hanya di Tobati-Enggros yang ada hutan perempuan, yang khusus untuk perempuan dan mencari [kerang] tanpa busana.," tutur Mama Ani.
"Mama bangga karena di dunia tidak ada, hanya satu di Tobati-Enggros."
Baca juga: Ketua Adat Papua: Risma dan Khofifah Layak Disebut Mama Papua
Air pasang akibat hujan deras semalam telah surut. Itu adalah waktu tepat untuk mencari bia noor, kerang berkulit tipis yang hanya hidup di kawasan bakau.
Mereka telah menyiapkan ember dan wadah untuk menampung kerang-kerang itu nantinya.
Setelah menambatkan perahu, alih-alih langsung menceburkan diri, mereka melepas pakaian mereka terlebih dulu. Baru kemudian mencemplungkan badan ke dalam air berwarna jernih dengan akar bakau yang melintang di sana-sini.
Baca juga: Jimmy Kisahkan Penyerangan KKB di Nduga: 2 Kali Tertangkap, Ditolong Mama Papua dan Pendeta (6)
Keduanya lalu bercengkerama tentang urusan dapur dan cuaca yang tak menentu belakangan, sementara kaki mereka sibuk menginjak-injak lumpur, meraba dengan ujung jari kaki keberadaan kerang yang mereka cari.
Ati menjelaskan, berbeda dengan kerang di laut yang memiliki kulit yang keras, kerang yang hidup di hutan bakau berkulit tipis. Jadi, ketika mencarinya pun "harus dengan perasaan".
"Injak pelan karena ini pecek (lumpur), terus kerangnya itu kulitnya tipis. Kalau kasar, dia hancur, pecah. Jadi harus dengan hati-hati, penuh perasaan sekali."
Baca juga: Jokowi Anggap Mama-mama Papua Simbol Perjuangan Kaum Ibu
Ia sesekali mengaduh ketika kakinya terantuk botol atau sampah yang terselip di akar-akar bakau.
Sementara Mama Ani mencari kerang dengan penuh ketenangan, sambil sesekali menyanyikan lagu berbahasa Enggros di bawah bayang-bayang daun bakau.
Dari kejauhan, terdengar suara musik yang diputar dari kafe-kafe yang mulai menjamur, tak jauh dari situ. Suara musik, kontras dengan suara kicauan burung yang lamat-lamat terdengar di Hutan Perempuan.
Insiden yang membuat Mama Ani berteriak lantang tadi memaksa mereka menghentikan aktivitas mencari kerang. Mereka pun terpaksa pulang lebih cepat.
Tak banyak kerang yang mereka dapatkan siang itu.
Baca juga: Bentrok Antar-kampung di Papua, Akses Jembatan Youtefa Tertutup, 7 Orang Terluka
Setelah menikah, ia ikut dengan suaminya tinggal di Kampung Enggros. Kampung ini oleh warga setempat dinamai Injros, yang berarti tempat kedua.
Kampung itu adalah kampung terapung, yang berada di Teluk Youtefa. Untuk menuju ke sana, harus menempuh sekitar 10 menit perjalanan menggunakan speedboat dari Pantai Ciberi.
Baca juga: Mengenal Jembatan Youtefa, Landmark Papua yang Gambarnya Tercetak di Uang Baru Rp 75.000
Kepada BBC Indonesia, Mama Ani menceritakan momen pertama kali mengenal Hutan Perempuan.
Saat dirinya masih kecil, ibunya kerap mengajak perempuan-perempuan lain untuk mencari kerang di hutan bakau ketika air laut sedang surut.
Tradisi mengunjungi hutan bakau, dalam bahasa setempat disebut tonotwiyat. Tonot berarti hutan bakau, sedangkan wiyat berarti ajakan.
Baca juga: Masyarakat Papua Bangga Gambar Jembatan Youtefa Masuk di Uang Rp 75.000
Mereka kemudian mendayung sampan ke hutan bakau, yang berjarak hanya beberapa menit dari kampung mereka.