Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Mama-mama Papua Jaga Hutan Perempuan di Teluk Youtefa, Pria yang Datang Harus Bayar Denda Adat

Kompas.com - 06/03/2021, 06:06 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - "Heh! Ko siapa?!," seru Adriana Youwe Meraudje dengan lantang ketika ia merasakan ada sekelebat bayangan di sela rerimbunan pohon bakau.

"Ko mau ambil apa? Kurang tahu malu masuk hutan perempuan!," teriaknya lagi.

Perempuan yang akrab disapa Mama Ani ini langsung menghentikan aktivitasnya mencari kerang. Buru-buru ia kenakan kembali pakaian yang ia tanggalkan sebelum mencari kerang, atau bia dalam bahasa Enggros, di hutan bakau.

"Hutan ini dibilang Hutan Perempuan [karena] khusus untuk perempuan. Tidak ada laki-laki yang boleh masuk," ujar Mama Ani, Rabu (24/3/2021).

Kaum lelaki yang berani datang ke hutan itu ketika ada perempuan di dalamnya harus membayar denda adat berupa manik-manik, barang berharga bagi warga Enggros yang mahal harganya.

Baca juga: Risma dan Khofifah Disebut Mama Papua...

Hutan Perempuan dan latar belakang Jembatan YoutefaAlfonso Dimara Hutan Perempuan dan latar belakang Jembatan Youtefa
Hutan Perempuan, begitu nama hutan bakau yang keberadaannya tak bisa dipisahkan dari perempuan Enggros dan Tobati, yang mendiami Teluk Youtefa di Jayapura, Papua.

Hutan itu adalah kawasan bakau yang dirawat oleh para perempuan dengan kearifan lokal secara turun-temurun.

"Hutan Perempuan sudah jadi satu dengan adat kami, jadi kami tak bisa lepaskan itu hutan," ujar Mama Ani lirih.

Mama Ani adalah salah satu dari segelintir perempuan Enggros yang melestarikan kearifan lokal di Hutan Perempuan, hingga kini.

"Daripada tinggal saja begitu to, budaya kami harus diangkat. Di dunia tidak ada hutan perempuan, hanya di Tobati-Enggros yang ada hutan perempuan, yang khusus untuk perempuan dan mencari [kerang] tanpa busana.," tutur Mama Ani.

"Mama bangga karena di dunia tidak ada, hanya satu di Tobati-Enggros."

Baca juga: Ketua Adat Papua: Risma dan Khofifah Layak Disebut Mama Papua

Mencari kerang 'dengan perasaan'

Wadah yang dipersiapkan untuk menampung kerangAyomi Amindoni Wadah yang dipersiapkan untuk menampung kerang
Siang itu, matahari begitu terik ketika Mama Ani dan perempuan Enggros lain, Ati Agustina Rumboyrusi, pergi ke Hutan Perempuan yang lokasinya tak jauh dari Jembatan Youtefa, salah satu destinasi wisata di Jayapura.

Air pasang akibat hujan deras semalam telah surut. Itu adalah waktu tepat untuk mencari bia noor, kerang berkulit tipis yang hanya hidup di kawasan bakau.

Mereka telah menyiapkan ember dan wadah untuk menampung kerang-kerang itu nantinya.

Setelah menambatkan perahu, alih-alih langsung menceburkan diri, mereka melepas pakaian mereka terlebih dulu. Baru kemudian mencemplungkan badan ke dalam air berwarna jernih dengan akar bakau yang melintang di sana-sini.

Baca juga: Jimmy Kisahkan Penyerangan KKB di Nduga: 2 Kali Tertangkap, Ditolong Mama Papua dan Pendeta (6)

Keduanya lalu bercengkerama tentang urusan dapur dan cuaca yang tak menentu belakangan, sementara kaki mereka sibuk menginjak-injak lumpur, meraba dengan ujung jari kaki keberadaan kerang yang mereka cari.

Ati menjelaskan, berbeda dengan kerang di laut yang memiliki kulit yang keras, kerang yang hidup di hutan bakau berkulit tipis. Jadi, ketika mencarinya pun "harus dengan perasaan".

"Injak pelan karena ini pecek (lumpur), terus kerangnya itu kulitnya tipis. Kalau kasar, dia hancur, pecah. Jadi harus dengan hati-hati, penuh perasaan sekali."

Baca juga: Jokowi Anggap Mama-mama Papua Simbol Perjuangan Kaum Ibu

Mama Ani mencari kerang dengan penuh ketenangan, sambil sesekali menyanyikan lagu berbahasa Enggros di bawah bayang-bayang daun bakauAyomi Amindoni Mama Ani mencari kerang dengan penuh ketenangan, sambil sesekali menyanyikan lagu berbahasa Enggros di bawah bayang-bayang daun bakau
"[Ketika] dapat, tidak bisa disentuh dengan kasar juga. Karena dia punya [kulit] terlalu tipis. Bisa pecah atau retak dan tidak bisa dijual lagi," jelas Ati.

Ia sesekali mengaduh ketika kakinya terantuk botol atau sampah yang terselip di akar-akar bakau.

Sementara Mama Ani mencari kerang dengan penuh ketenangan, sambil sesekali menyanyikan lagu berbahasa Enggros di bawah bayang-bayang daun bakau.

Dari kejauhan, terdengar suara musik yang diputar dari kafe-kafe yang mulai menjamur, tak jauh dari situ. Suara musik, kontras dengan suara kicauan burung yang lamat-lamat terdengar di Hutan Perempuan.

Insiden yang membuat Mama Ani berteriak lantang tadi memaksa mereka menghentikan aktivitas mencari kerang. Mereka pun terpaksa pulang lebih cepat.

Tak banyak kerang yang mereka dapatkan siang itu.

Baca juga: Bentrok Antar-kampung di Papua, Akses Jembatan Youtefa Tertutup, 7 Orang Terluka

Tradisi Tonotwiyat

Bia noor adalah kerang berkulit tipis yang memiliki habitat di hutan bakau.Ayomi Amindoni Bia noor adalah kerang berkulit tipis yang memiliki habitat di hutan bakau.
Mama Ani, perempuan berusia 66 tahun itu lahir dan besar di Kampung Tobati yang berada di kawasan taman wisata Teluk Youtefa.

Setelah menikah, ia ikut dengan suaminya tinggal di Kampung Enggros. Kampung ini oleh warga setempat dinamai Injros, yang berarti tempat kedua.

Kampung itu adalah kampung terapung, yang berada di Teluk Youtefa. Untuk menuju ke sana, harus menempuh sekitar 10 menit perjalanan menggunakan speedboat dari Pantai Ciberi.

Baca juga: Mengenal Jembatan Youtefa, Landmark Papua yang Gambarnya Tercetak di Uang Baru Rp 75.000

Kepada BBC Indonesia, Mama Ani menceritakan momen pertama kali mengenal Hutan Perempuan.

Saat dirinya masih kecil, ibunya kerap mengajak perempuan-perempuan lain untuk mencari kerang di hutan bakau ketika air laut sedang surut.

Tradisi mengunjungi hutan bakau, dalam bahasa setempat disebut tonotwiyat. Tonot berarti hutan bakau, sedangkan wiyat berarti ajakan.

Baca juga: Masyarakat Papua Bangga Gambar Jembatan Youtefa Masuk di Uang Rp 75.000

Sampan ini menjadi moda transportasi Mama Ani sehari-hariAyomi Amindoni Sampan ini menjadi moda transportasi Mama Ani sehari-hari
"Pengalaman mama waktu masih kecil ikut mama saya ke hutan bakau, dulu itu memang mama-mama panggil-panggil 'Ayo ke hutan bakau'. Sama-sama ke sana," tuturnya.

Mereka kemudian mendayung sampan ke hutan bakau, yang berjarak hanya beberapa menit dari kampung mereka.

Di hutan yang sunyi itu, para perempuan dengan bebas mencurahkan hati satu sama lain, menceritakan masalah yang dihadapi atau nostalgia masa lalu, sambil mendengarkan kicauan suara burung.

"Jadi kalau ada macam ketemu masalah, 'Nanti sudah ke hutan perempuan, baru di sana kita cerita'," kata Mama Ani.

Baca juga: 100 Pedagang Positif Corona, Pemkot Jayapura Tetap Buka Pasar Youtefa

Di hutan bakau yang sunyi, para perempuan dengan bebas mencurahkan hati satu sama lain ditemani suara kicauan burung.Ayomi Amindoni Di hutan bakau yang sunyi, para perempuan dengan bebas mencurahkan hati satu sama lain ditemani suara kicauan burung.
Sesampainya di hutan mereka langsung menanggalkan baju sebelum menceburkan diri dan mencari kerang di sela-sela akar bakau.

"Mengapa harus begitu? Ya itu, harus begitu. Kalau tidak, gatal. Jadi harus buka pakaian."

Senada, Prisilla Sanyi, perempuan asli Enggros yang hingga kini turut melestarikan tradisi itu juga mengeluh gatal jika masuk ke dalam hutan bakau dengan mengenakan pakaian.

"Karena di sana itu pecek. Kalau kita dengan pakaian turun ke sana kan pecek itu masuk ke dalam pakaian. Jadi dari dulu begitu."

"Kami juga coba turun pakai pakaian, badannya gatal. Itu karena pecek," jelas perempuan berusia 65 tahun itu.

Baca juga: 100 Pedagang Positif Corona, Pemkot Jayapura Tetap Buka Pasar Youtefa

"Jadi dong kalau turun polos. Itu sudah tradisi dari dulu orang di sini."

Mama Prisilla juga menambahkan para perempuan memilih untuk menghabiskan waktu bersama di Hutan Perempuan sebab di kampung, mereka merasa tidak memiliki kebebasan berbicara.

"Di para-para besar itu, kalau ada rapat besar-besaran laki-laki dan perempuan dipanggil untuk rapat. Laki-laki duduk di para-para adat, perempuan duduk di para-para rumah saja."

"Jadi kalau ada masukan-masukan, laki-laki saja yang bicara, perempuan tidak boleh bicara," jelas Prisilla.

Baca juga: Viral Jembatan Youtefa Dikenai Tarif, Ini Penjelasan Kementerian PUPR

Denda adat

Para perempuan Enggros bersantai dan bercengkerama di para-para rumah mereka.Ayomi Amindoni Para perempuan Enggros bersantai dan bercengkerama di para-para rumah mereka.
Dituturkan Mama Ani, kaum laki-laki diperbolehkan masuk Hutan Perempuan untuk mengambil kayu demi keperluan rumah tangga, ketika tidak ada kaum perempuan di dalamnya.

Namun, ketika ada perempuan, adalah tabu yang bagi lelaki untuk memasuki hutan ini.

"Kalau sampai ada laki-laki yang intip, dia kena sanksi, harus denda. Kami ke para-para adat, tuntut dia harus bayar denda. Sudah tahu ada perempuan mencari, kenapa dia harus pergi ke hutan perempuan?," ungkap Mama Ani.

Baca juga: Fakta Jembatan Youtefa, Tonggak Sejarah di Papua di Hari Sumpah Pemuda...

Hal itu dibenarkan oleh John Sanyi, Ondoafi atau kepala dewan adat Kampung Enggros.

Sesuai adat di Kampung Enggros, John menjelaskan, ketika perempuan mengetahui ada pria masuk ke sana mereka berteriak serentak.

Mereka lalu melaporkan kejadian itu ke dewan adat yang akan mengadili orang tersebut dan menuntut pembayaran denda.

"Dendanya itu kita pakai manik-manik. Yang nomor satu itu warna biru. Ada tiga jenis, ada biru, hijau dan putih. Jadi kalau dendanya disini manik-manik yang nomor satu itu. Nilainya tinggi kalau di sini," jelas John.

Baca juga: Jokowi Resmikan Jembatan Youtefa, Simbol Pemersatu Bangsa

Manik-manik ini adalah barang berharga bagi warga EnggrosAyomi Amindoni Manik-manik ini adalah barang berharga bagi warga Enggros
Ia kemudian menunjukkan manik-manik yang merupakan barang berharga bagi penduduk Kampung Enggros itu.

Manik-manik ini juga kerap dijadikan mas kawin bagi warga Enggros ketika menikah.

Manik-manik berwarna biru - yang menjadi denda bagi pria yang melanggar hukum adat di Hutan Perempuan - memiliki nilai paling tinggi, setara Rp 1 juta rupiah.

Sedangkan manik-manik berwarna hijau, memiliki nilai setara Rp 500.000 dan manik berwarna putih bernilai Rp 300.000.

Baca juga: Warga Jayapura Antusias Tunggu Peresmian Jembatan Youtefa

Lebih jauh, John mengungkapkan bahwa keberadaan Hutan Perempuan tak lepas dari pembagian zona dan tugas antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial penduduk Enggros.

Kaum laki-laki bertugas mencari ikan di laut, kata John, sedangkan perempuan bertugas mencari kerang di hutan bakau.

"Laki-laki mencari ikan saja di laut, pakai jaring. Kalau Hutan Perempuan itu ibu-ibu saja yang mencari udang, mencari bia di dalam sana. Jadi kalau sudah ada ibu-ibu di sana, laki-laki tidak bisa masuk," jelas John.

Baca juga: Senin Sore, Jembatan Youtefa Papua Diresmikan

Perempuan yang istimewa

Mama Ani khawatir semakin sedikit generasi muda perempuan Enggros yang peduli dengan Hutan PerempuanAyomi Amindoni Mama Ani khawatir semakin sedikit generasi muda perempuan Enggros yang peduli dengan Hutan Perempuan
Orgenes Meraudje, tokoh masyarakat Kampung Enggros menambahkan bahwa dalam hukum adat, perempuan Enggros adalah perempuan yang istimewa.

"Prinsip hukum adat kita banyak atur soal perempuan, karena mereka tidak boleh diperlakukan seperti budak, mereka istimewa sekali dalam prinsip-prinsip hukum adat kami," jelas pria yang akrab disapa Ori ini.

Menurut Ori - yang pernah menjabat sebagai kepala desa di Kampung Enggros - hukum adat di kampung itu memberikan banyak perlindungan dan kebebasan pada perempuan.

Namun begitu, katanya, ada sejumlah aturan dalam hukum adat yang harus dipatuhi para perempuan.

Baca juga: Dua Mahasiswa Papua Ditangkap, Ini Penjelasan Polisi

"Perempuan diberi pembatasan dalam hukum adat kami, tidak boleh ketawa tinggi-tinggi, tidak boleh maki-maki."

Selain itu, perempuan Enggros juga tak diperkenankan berada di para-para.

Para-para adalah tempat musyawarah bagi para lelaki untuk membicarakan persoalan adat, tanah dan laut, serta berdiskusi soal politik.

"Di situ ada perbedaan pendapat yang cukup rumit. Makanya perempuan jangan naik dengar itu, perempuan tidak boleh dengar. Ini sebatas laki-laki."

Baca juga: Seluruh Kabupaten dan Kota di Papua Telah Mulai Vaksinasi Covid-19

Orgenes Meraudje dan istrinya berpose di depan rumahnya.Ayomi Amindoni Orgenes Meraudje dan istrinya berpose di depan rumahnya.
"Jadi perempuan itu dikatakan orang yang paling bersih, dia tidak boleh dengar kata-kata kasar dan itu dijaga sekali dalam prinsip-prinsip hukum adat kami karena mereka orang utama dalam kehidupan di kampung," ungkap Ori.

Ia pun menganggap Hutan Perempuan yang terus lestari selama tujuh generasi dengan tradisi yang menyertainya adalah sesuatu yang "mistik".

"Nggak boleh kita cerita ke suami atau orang lain, atau laki-laki lain atau perempuan lain yang tinggal di rumah, kecuali dia ke sana (Hutan Perempuan), baru dia tahu. Itu mistiknya dan itu rahasia, dan mengandung prinsip-prinsip perempuan."

Baca juga: Kisah Sigit Arifianto, Guru di Papua yang Membangun Edutech Lister

Makin sedikit generasi muda yang peduli

Bunga, remaja perempuan Enggros dengan latar belakang Hutan PerempuanAyomi Amindoni Bunga, remaja perempuan Enggros dengan latar belakang Hutan Perempuan
Sayangnya, kearifan lokal di Hutan Perempuan kini mulai tergerus oleh perkembangan zaman.

Mama Ani menuturkan makin sedikit perempuan muda Enggros yang peduli untuk melestarikan tradisi Hutan Perempuan. Sehingga tumpuan harapan pelestarian, kini berada di pundak mama-mama Enggros yang telah lanjut usia.

"Mungkin ada satu, dua orang yang bisa ingat, dia waktu kecil sedang ikut mamanya, dia tahu [tentang hutan perempuan. Tapi sebagian besar sudah makin menghilang."

"Mungkin nanti hutan ini mama-mama kami yang ada ini saja, mungkin hilang di situ," tutur Ani.

Baca juga: Usai Pelantikan Bupati Asmat di Jayapura, Massa di Kota Agats Rusak Rumah Dinas hingga Kantor KPU

Mama Prisilla beralasan, kebanyakan perempuan muda "gengsi" untuk mencari kerang di hutan bakau.

Sementara Orgenes mengatakan perbedaan pola pikir menjadi penyebab makin sedikitnya remaja Enggros yang melestarikan Hutan Perempuan.

Selain memilih untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, perempuan muda Enggros banyak yang memilih keahlian lain, seperti menganyam dan atau berdagang.

"Dulu mereka [ke hutan perempuan], karena keahlian mereka di bidang itu saja. Sekarang berubah, akhirnya [jumlah] mereka berkurang ke hutan perempuan. Ini yang membuat perempuan Enggros mendapat ancaman lebih keras di tengah pembangunan," jelas Ori.

Baca juga: Akibat Cuaca Buruk, Helikopter Tujuan Mimika Mendarat Darurat di Lapangan Bola di Jayapura

'Tradisi yang melekat'

Ati Agustina Rumboyrusi, perempuan muda Enggros yang masih melestarikan kearifan lokalAyomi Amindoni Ati Agustina Rumboyrusi, perempuan muda Enggros yang masih melestarikan kearifan lokal
Akan tetapi, itu tak berlaku bagi Ati Agustina Rumboyrusi.

Perempuan berusia 33 tahun itu masih melakukan aktivitas mencari kerang di hutan bakau yang diajarkan neneknya sejak kecil.

"Itu memang sudah menjadi satu tradisi yang memang melekat pada kehidupan kami. Karena semenjak kami kecil, masa kami sekolah, itu yang menjadi mata pencaharian orang tua kami," jelas ibu dari tiga anak ini.

"Saya belajar untuk tahu, akhirnya jadi kebiasaan saya. Ketika saya berkeluarga, itu juga jadi mata pencaharian saya," lanjutnya.

Baca juga: Periksa Jalan Trans Papua Ruas Jayapura-Wamena, Wamen PUPR: Ada yang Rusak dan Berlumpur

Sayangnya, dari hari ke hari hasil tangkapannya terus berkurang. Ia kerap harus kembali ke Hutan Perempuan beberapa kali, sebelum akhirnya menjual kerang tangkapannya ke pasar.

"Kalau memang tidak mencukupi, kita simpan dulu. Kita gantung di bawah kolong rumah, itu kan ada jaring yang dijahit model seperti sarung, diisi, digantung, tinggal di bawah.

"Besok kita cari lagi. Begitu dan seterusnya sehingga hasilnya cukup, lalu kita jual," katanya.

Satu tumpuk bia noor ukuran besar, biasanya ia jual seharga Rp 50.000. Sementara ukuran lebih kecil, ia jual Rp 25.000 per tumpuk.

Baca juga: 3.464 Tenaga Kesehatan di Kota Jayapura Mulai Divaksin Covid-19

Satu tumpuk kerang dijual dengan kisaran harga Rp25.000 hingga Rp50.000Ayomi Amindoni Satu tumpuk kerang dijual dengan kisaran harga Rp25.000 hingga Rp50.000
Selain dijual, kerang ia dapat juga untuk mencukupi kebutuhan lauk keluarganya.

"Kalau memang tidak ada uang untuk beli sayur atau bumbu, itu cukup dimasak dengan garam saja sudah enak karena rasanya memang sudah enak. Jadi tidak perlu dengan bumbu," ujar Ati.

Bagi Ati, hutan perempuan adalah "rumah" bagi perempuan Enggros yang harus dilestarikan.

"Hutan istilahnya rumah kami, khususnya kaum perempuan di kampung ini. Jadi tentunya harapan saya untuk kita mari kita sendiri harus menjaga sebagaimana mestinya," kata Ati.

"Hutan istilahnya rumah kami," kata Ati Agustina Rumboyrusi, mendeskripsikan Hutan Perempuan

Baca juga: DPO Pencari Senjata dan Amunisi untuk KKB Ditangkap di Jayapura

Senada, Mama Ani berharap agar remaja perempuan Enggros tergerak untuk melestarikan Hutan Perempuan.

"Mama mau itu mereka harus belajar juga, jadi mereka belajar untuk pertahankan hutan kami supaya jangan hutan kami hilang, supaya budaya kami pun jangan hilang."

"Mama berharap mama-mama yang lain bisa ajak anaknya untuk belajar bagaimana kehidupan dalam Hutan Perempuan ini," harap Mama Ani.

Sayangnya, Hutan Perempuan kini menghadapi beragam ancaman yang berdampak pada makin menyusutnya luasan hutan akibat pembangunan dan pencemaran lingkungan akibat sampah perkotaan yang bermuara di Teluk Youtefa.

Liputan mendalam tentang kerusakan ekosistem di Hutan Perempuan, bisa Anda simak di artikel lain yang akan diterbitkan untuk memperingati Hari Hutan Sedunia pada 21 Maret 2021.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Banjir dan Longsor Landa Pinrang, Satu Warga Tewas, Sejumlah Rumah Warga Ambruk

Banjir dan Longsor Landa Pinrang, Satu Warga Tewas, Sejumlah Rumah Warga Ambruk

Regional
Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien, Pelaku Serahkan Uang Damai Rp 350 Juta ke Korban

Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien, Pelaku Serahkan Uang Damai Rp 350 Juta ke Korban

Regional
UNESCO Tetapkan Arsip Indarung I Semen Padang Jadi Memory of the World Committee for Asia and the Pacific

UNESCO Tetapkan Arsip Indarung I Semen Padang Jadi Memory of the World Committee for Asia and the Pacific

Regional
Golkar Buka Peluang Majunya Raffi Ahmad di Pilkada Jateng

Golkar Buka Peluang Majunya Raffi Ahmad di Pilkada Jateng

Regional
Mantan Gubernur Babel Maju Periode Kedua Usai 'Video Call' dengan Gerindra

Mantan Gubernur Babel Maju Periode Kedua Usai "Video Call" dengan Gerindra

Regional
Kisah Istri Berusia 19 Tahun di Karimun yang Tewas Dibunuh Suami dengan Batang Sikat Gigi

Kisah Istri Berusia 19 Tahun di Karimun yang Tewas Dibunuh Suami dengan Batang Sikat Gigi

Regional
Terluka akibat Terperangkap di Pohon, Seekor Monyet di Salatiga Diserahkan ke BKSDA Jateng

Terluka akibat Terperangkap di Pohon, Seekor Monyet di Salatiga Diserahkan ke BKSDA Jateng

Regional
Maju Pilkada Blora, Politikus NasDem Mendaftar ke Gerindra

Maju Pilkada Blora, Politikus NasDem Mendaftar ke Gerindra

Regional
Kebakaran Pemukiman Nelayan di Pesisir Pulau Sebatik, 29 Jiwa Kehilangan Tempat Tinggal

Kebakaran Pemukiman Nelayan di Pesisir Pulau Sebatik, 29 Jiwa Kehilangan Tempat Tinggal

Regional
Kecanduan Judi Online, Pasutri di Kubu Raya Nekat Mencuri di Minimarket

Kecanduan Judi Online, Pasutri di Kubu Raya Nekat Mencuri di Minimarket

Regional
DMI dan LPQ Kota Semarang Usulkan Mbak Ita Maju Pilkada 2024

DMI dan LPQ Kota Semarang Usulkan Mbak Ita Maju Pilkada 2024

Regional
Kampung Jawi di Semarang: Daya Tarik, Jam Buka, dan Rute

Kampung Jawi di Semarang: Daya Tarik, Jam Buka, dan Rute

Regional
Gantikan Ganefri, Krismadinata Terpilih Jadi Rektor UNP 2024-2029

Gantikan Ganefri, Krismadinata Terpilih Jadi Rektor UNP 2024-2029

Regional
Anak Ketua DPC Gerindra Ambil Formulir Pilkada Blora di PDI-P

Anak Ketua DPC Gerindra Ambil Formulir Pilkada Blora di PDI-P

Regional
Video Viral Bocah Menangis di Samping Peti Mati Sang Ibu yang Dibunuh Ayahnya di Minahasa Selatan

Video Viral Bocah Menangis di Samping Peti Mati Sang Ibu yang Dibunuh Ayahnya di Minahasa Selatan

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com