Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fendry Ponomban
Penulis dan Aktivis NGO

Penulis, Praktisi Media, NGO

Menghadang Covid-19 dengan 3M dan Senjata Komunitas

Kompas.com - 22/09/2020, 12:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HAMPIR tujuh bulan pandemi melanda Indonesia. Angka penularan masih tinggi. Dari dua kasus positif saat pertama kali ditemukan, kini sudah mencapai lebih dari 4.000 kasus positif harian.

Ekonomi macet. Warga berdiam di rumah. Berdoa dan berpikir bagaimana bertahan hidup di tengah ancaman virus maut dan rongrongan ekonomi yang sewaktu-waktu mengintai.

Kita memang tidak memiliki banyak pilihan ketika belum ada satu pun otoritas di dunia, baik otoritas keilmuwan maupun pemerintahan, yang memiliki resep terbaik dan mujarab mengatasi pandemi Covid-19.

Semua pihak masih terus saling belajar untuk menemukan bentuk dan strategi paling tepat mengatasi bencana mematikan ini.

Pola hidup 3M

Sampai saat ini ada dua strategi yang sudah dirumuskan umat manusia. Pertama, secepatnya membuat vaksin; Kedua, seraya menunggu tersedianya vaksin, manusia dituntut untuk menerapkan pola hidup tertentu (protokol) untuk menghindari penularan yakni Memakai masker, Mencuci tangan pakai sabun, dan Menjaga jarak (3M).

Repotnya, mengubah pola hidup manusia sama sekali bukan perkara mudah. Menerapkan 3M ternyata tidak kalah rumit dengan upaya para ilmuwan menemukan vaksin.

Baca juga: KPU Harap Tak Ada Pelanggaran Protokol Kesehatan Saat Pengundian Nomor Urut Pilkada

Salah satu cara yang dapat kita pertimbangkan untuk mempercepat perubahan perilaku ini adalah melakukan “intervensi fisik”.

Selain gerakan serentak kampanye 3M di berbagai media, patut dipertimbangkan pula untuk “menghadirkan 3M” secara langsung di masyarakat setelah selama ini lebih banyak hadir dalam bentuk tagar kampanye di media sosial.

Terkait masker misalnya, kita patut bertanya lebih lanjut, apakah ketersediaan atau akses mendapatkan masker sudah betul-betul memadai? Bagi warga yang secara ekonomi sedang terhimpit di tengah pandemi, membeli masker setiap hari dapat saja menjadi prioritas ke sekian setelah pangan tercukupi. Pemerintah perlu mengupayakan benda penting itu hadir sebanyak-banyaknya untuk warga.

Terhadap perilaku mencuci tangan pakai sabun, kita juga patut bertanya apakah akses fasilitas cuci tangan pakai sabun sudah memadai di pasar-pasar, di terminal, di halte-halte, di stasiun-stasiun, pendeknya di berbagai sarana publik tempat warga aktif berinteraksi? Kalau belum cukup tersedia, maka sekali lagi, negara dan warga secara kolektif perlu mengupayakan benda penting itu hadir untuk memudahkan warga membiasakan diri mencuci tangan pakai sabun.

Sering kali banyak warga yang menunda kebutuhan cuci tangan karena fasiltas cuci tangan pakai sabun tidak mudah ditemukan.

Mengutip BBC (27/4/2020) hanya 27 persen dari populasi di negara-negara berkembang yang punya akses pada fasilitas cuci tangan pakai sabun.

Di Indonesia, data BPS tahun 2019 menunjukkan hanya 76,07 persen penduduk yang memiliki akses fasilitas cuci tangan umum yang menyediakan sabun.

Dari 34 provinsi, tidak ada satu pun provinsi yang mencatat angka di atas 90 persen, bahkan DKI Jakarta baru mencapai 73,18 persen (Jakarta Post, 24/3/2020).

Di DKI, persentase tempat-tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan (di dalamnya termasuk fasilitas cuci tangan pakai sabun) baru mencapai 66,89 persen (Profil Kesehatan DKI Jakarta, 2018).

Tempat-tempat umum ini adalah persekolahan, rumah ibadah, puskesmas, rumah sakit, serta pasar. Menurut laporan itu, baru 92 pasar dari 165 pasar di DKI yang memenuhi syarat kesehatan.

Tanpa perlu menyalahkan siapa-siapa, data ini dapat dijadikan semangat untuk memicu semua pihak segera hadir, bergerak lebih cepat untuk memenuhinya.

Dalam situasi yang tidak biasa seperti sekarang, masker dan fasilitas cuci tangan perlu hadir dengan jumlah yang juga tidak biasa.

Rasanya patut dipertimbangkan untuk mengupayakan dua atau lebih fasilitas umum cuci tangan pakai sabun di setiap satuan terkecil dalam masyarakat yakni di tingkat RT.

Negara perlu lebih banyak hadir dan mengalokasikan anggaran untuk menyediakan fasilitas cuci tangan pakai sabun ini.

Fasilitas ini juga tetap akan dipergunakan dan bermanfaat jangka panjang ketika perilaku dan kesadaran warga semakin baik.

Fasilitas sanitasi ini adalah investasi kesehatan yang sesungguhnya telah menjadi salah satu agenda bangsa kita sesuai Tujuan Pembangunan Milenium sejak tahun 2000 lalu.

Kita tahu bersama bahwa masih ada 40% warga DKI yang belum terlayani pasokan air bersih oleh PAM Jaya (Kompas.com, 22/3/19).

Baca juga: 30 Hotel Siap Tampung Pasien Covid-19 Tanpa Gejala di DKI

 

Anjuran mencuci tangan tidak akan berdampak apabila untuk minum dan memasak saja banyak warga miskin yang masih harus membelinya seperti di Jakarta Utara dan Jakarta Barat.

Apresiasi yang besar untuk beberapa perusahaan swasta dan Palang Merah Indonesia yang telah mulai mengupayakan penyediaan fasilitas cuci tangan pakai sabun di DKI Jakarta (Tribunnews, 7/9/2020).

Sebagai bangsa kita semua patut merasa malu ketika ada warga miskin, terlebih di tengah kesulitan ekonomi era pandemi, masih membeli air bersih untuk memasak di ibu kota sebuah negara yang telah merdeka selama 75 tahun.

Pertanyaan serupa juga dapat kita ajukan terkait protokol untuk menjaga jarak aman. Seringkali terjadi, warga bukan bermaksud untuk tidak patuh, namun semata belum terbiasa dan bergerak secara naluriah seperti dalam situasi sebelum pandemi.

Kondisi ini membawa konsekuensi perlunya aparatus negara dengan dukungan relawan untuk hadir mengingatkan ketika mulai terjadi penumpukan warga.

Kehadiran petugas dan relawan ini adalah solusi sementara hingga kesadaran masyarakat semakin terbentuk.

Peringatan dan ajakan terbuka untuk menerapkan 3M dalam bentuk spanduk, poster perlu hadir di setiap mulut gang, perumahan, serta berbagai fasilitas publik dalam jumlah yang massif.

Kalau bangsa kita pernah memproduksi jutaan poster dan baliho seperti yang terlihat dalam perhelatan pileg dan pilpres, tentu hal yang (tidak harus persis) sama dapat dilakukan untuk urusan mendesak penanggulangan Covid-19 ini.

Bentuk-bentuk “intervensi fisik” ini kiranya dapat melengkapi seruan-seruan massif kampanye di berbagai media massa. Gagasan tentang “masker”, “cuci tangan pakai sabun”, “menjaga jarak” tidak lagi sekadar berada di layar televisi atau di layar monitor ponsel, tetapi juga hadir secara fisik dalam lingkup terkecil masyarakat kita.

Senjata komunitas

Salah satu keunggulan bangsa kita, atau malah sebuah keajaiban, adalah melimpahnya modal sosial dalam rupa karakter masyarakat yang komunal.

Kita mungkin satu-satunya bangsa di dunia yang sangat "social minded”, sebuah karakter yang secara aktif tertarik pada kesejahteraan sosial atau kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Dengan kata lain, tradisi bersosialisasi, kegandrungan bermasyarakat, “hormon gaul” kita ini, tidak ditemukan di tempat lain di dunia.

Cukup sahih untuk mengatakan bahwa kolektifitas, kedermawanan, sifat gotong-royong warga Indonesia sama sekali belum habis dikikis kapitalisme liberalisme.

Bahkan, karakter ini juga mampu bertahan meski beberapa kali diterpa ujian kontestasi politik berujung polarisasi yang tajam.

Bulan Agustus lalu misalnya, di tengah keterbatasan, kita masih melihat antusiasme komunitas warga bekerja bersama, bergotong-royong menyiapkan perayaan ulang tahun kemerdekaan.

Di luar momentum tahunan itu, kita juga dengan mudah menemukan tradisi silaturahmi dalam berbagai bentuk berlangsung hampir setiap saat di masyarakat kita seperti kenduri, tahlilan, kerja bakti, ronda, dan tilik (mengunjungi sesama yang sedang sakit).

Pada saat yang sama kontrol sosial juga dapat lebih efektif di tingkat komunitas. Rasa segan dan malu terhadap orang yang dihormati atau yang dituakan dalam lingkup komunitas, cukup efektif menjadi faktor pengubah perilaku bagi warga yang melakukan perbuatan tidak pantas, perbuatan yang tidak selaras dengan kesepakatan di dalam komunitas.

Kontrol sejak dari komunitas terkecil dapat menjadi strategi tingkat pertama sebelum didukung oleh operasi yustisi di tingkat yang lebih luas seperti di lingkup propinsi.

Sumber daya aparat yang kita miliki tidak akan mampu mengontrol seluruh pergerakan warga. Sementara penerapan denda dan hukuman sosial untuk pelanggar protokol terihat tidak efektif dan sering memicu kontroversi dan polemik baru di masyarakat.

Belajar dari desa

Kita dapat belajar dari semangat komunalitas yang sudah ditunjukkan oleh warga desa sejak bulan Maret lalu.

Baca juga: Cara Unik Warga Cegah Corona, Gotong Royong Buat Tempat Cuci Tangan

 

Di banyak desa di Indonesia masyarakat secara bersama-sama aktif berbagi tugas menjaga desanya dari potensi penularan.

Warga membentuk Satgas Covid19 di tingkat desa untuk mengedukasi masyarakat serta menyediakan fasilitas cuci tangan dengan sabun di tempat-tempat umum.

Apresiasi bagi Kementerian Desa yang membantu menerbitkan panduan teknis untuk Satgas Covid19 tingkat desa ini.

Edaran tersebut antara lain menjelaskan apa yang dapat dilakukan oleh Satgas seperti mendata penduduk rentan sakit, menyiapkan ruang isolasi, memastikan tidak ada kerumunan banyak orang, mendirikan pos jaga 24 jam di tingkat desa, serta membangun sistem koordinasi dengan petugas medis yang ada di desa dan puskesmas.

Kementerian ini juga mengizinkan dana desa digunakan dalam upaya-upaya pencegahan Covid-19 di desa, termasuk menyediakan empat masker kain untuk setiap warga.

Pelibatan komunitas yang massif di tingkat paling kecil seperti ini belum sepenuhnya terjadi di Jakarta sebagai salah satu pusat penularan, serta di kota-kota besar lain yang ikatan sosialnya tidak sekuat seperti halnya di desa.

Namun bukan berarti semangat kolektifitas sudah tidak ada. Selama pandemi ini kita banyak sekali mendengar warga perumahan di kota-kota besar bergotong-royong menyediakan makanan dan keperluan salah satu warga yang tertimpa musibah dan harus menjalani isolasi mandiri.

Tindakan-tindakan tersebut telah sangat membantu negara. Juga memiliki arti yang sangat penting bagi para petugas medis.

Negara dapat lebih aktif berperan untuk memfasilitasi gerakan ini menjadi lebih terkonsolidasi dan terarah. Kalau perlu mengalokasikan dana operasional dari anggaran daerah.

Memberdayakan komunitas seperti pengalaman di desa memiliki keunggulan karena zonasi yang tidak terlalu luas sehingga pemetaan serta pengendalian masalah lebih mudah dilakukan bersama-sama pemerintah dan warga.

Baca juga: Masyarakat Didorong Bentuk Relawan Tanggap Covid-19 di Desa

 

Tanggung jawab ini akan sangat berat apabila dibebankan semuanya kepada para pegawai dinas di tingkat kabupaten dan propinsi karena jumlah aparat yang terbatas. Dalam situasi normal tanpa pandemi saja mereka masih sering kewalahan.

Mari kita panjatkan doa untuk semua korban yang telah berpulang akibat pandemi ini. Apresiasi dan hormat untuk para tenaga medis, relawan, aparat pemerintah, petugas keamanan, ilmuwan, pekerja sosial, pekerja media, dan semua pihak yang telah bekerja sekuat tenaga, tak kenal lelah berjuang meyelamatkan kehidupan. Bersama-sama kita bisa memenangkan pertarungan ini. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com