Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perbudakan di Kapal: Disiksa hingga Meninggal, Mayat Disimpan di Pendingin Ikan, lalu Dibuang ke Laut

Kompas.com - 20/05/2020, 08:38 WIB
Rachmawati

Editor

"Yang menjadi bermasalah adalah di jalur pemda dan mandiri karena tidak ada pengawasan, tidak ada pelatihan, tidak ada apa-apa. Yang penting kirim dan mereka dapat uang," katanya.

Menurut Abdi, rencana peraturan pemerintah yang menjadikan penyaluran ABK menjadi satu pintu kini tengah diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.

Telah terjadi 30 rapat antar-kementerian selama lebih dari dua tahun. Hingga kini belum disetujui.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons dari Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan.

Baca juga: BP2MI: Tata Kelola ABK Perikanan Karut Marut karena Pembagian Kewenangan Tak Jelas

Asosiasi agen penyalur ABK: Kami sangat malu

Indonesia Fisherman Manning Agents Association (IFMA) merasa sangat malu dengan kejadian berulang terhadap ABK Indonesia yang disiksa dan diarungkan di tengah laut.

"Kami sebagai asosiasi agen penyalur ABK malu atas kejadian ini. PT Mandiri Tunggal Bahari (MTB) itu tidak terdaftar di salah satu asosiasi dan baru-baru saja beroperasi," kata Wakil Ketua Umum IFMA Tikno.

Tikno menyebut banyak bermunculan agen-agen penyalur ABK yang tidak terdaftar di Kemenhub dan Kemenaker dan mereka bekerja sendiri-sendiri.

Baca juga: BP2MI Akui Tak Punya Data Terpadu Seputar ABK di Kapal Asing

"Mereka kebanyakan bekas ABK yang mendapat kepercayaan dari agen luar negeri dengan imbalan fee sangat murah untuk mengirim ABK. Akhirnya tanpa keterampilan dan pengalaman sehingga terjadi penyiksaan," kata Tikno.

Tikno menambahkan saat ini mudah sekali bagi agen mengirim ABK ke luar negeri karena tidak adanya pengawasan.

"Kejadian bukan hanya di MTB saja, kalau kita mau buka banyak sekali seperti itu. Cukup ada permintaan dari luar, dicarikan orang, dibuat dokumen, lalu dapat surat dari agen luar, dan berangkat, sangat mudah. Tidak ada filter dari Indonesia," katanya.

Baca juga: Pemerintah Resmi Laporkan Dugaan Eksploitasi ABK ke Dewan HAM PBB

Dua pengurus MTB tersangka

Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi anak buah kapal (ABK) Long Xing 629 tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (08/05). Antara Foto/Hasnugara Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi anak buah kapal (ABK) Long Xing 629 tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (08/05).
Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang Polda Jawa Tengah telah menetapkan dua orang pengurus MTB sebagai tersangka atas kasus yang menimpa Herdianto, ABK WNI yang dipekerjakan di kapal ikan China, Lu Qing Yuan Yu 623.

"Tersangkanya kan dari perusahaan yang memberangkatkan ini. Dia tidak punya izin memberangkatkan ABK, itu sementara dugaannya. Setelah video viral di media sosial, Satgas TPPO (tindak pidana perdagangan orang) Polda Jateng mengecek prosedur pemberangkatan para ABK," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo.

Ferdy menjelaskan dugaan tindak pidana kedua tersangka yaitu pelanggaran UU tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).

Baca juga: BP2MI: Tata Kelola ABK Perikanan Karut Marut karena Pembagian Kewenangan Tak Jelas

Selain kasus Herdianto, terjadi juga dugaan kekerasan dan pelarungan ABK Indonesia di Kapal Long Xing 629 berbendera China.

Bareskrim Polri pun menetapkan tiga orang dari tiga perusahaan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang.

Mereka dijadikan tersangka karena diduga melakukan eksploitasi terhadap ABK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com