Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perubahan Iklim, Pesisir Indonesia Terancam Tenggelam (1)

Kompas.com - 26/03/2020, 12:32 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Ancaman tenggelam akibat perubahan iklim tak hanya dihadapi oleh ibu kota Jakarta dan pesisir utara Jawa, namun juga puluhan juta warga lain yang tinggal di pesisir Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat.

Namun, banyak dari mereka belum menyadari ancaman ini.

Upaya Rapeah mengepel lantai kayu di rumahnya yang tergenang air tampak sia-sia. Banjir rob yang melanda sejak sehari sebelumnya belum kunjung surut, padahal hari sudah menjelang siang.

Baca juga: Hujan Deras, Kecamatan Sukajaya di Bogor Kembali Banjir dan Longsor

Genangan air yang tampak jernih membenamkan seluruh pekarangan dan sebagian lantai rumah yang terletak dua kilometer dari muara Sungai Kakap, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Barang berharga dan pakaian dikemas agar terhindar dari basah. Kaki meja, kursi dan lemari kayu dan perabotan rumahnya tampak lapuk, tergerus oleh banjir rob atau banjir laut yang belakangan menjadi langganan area tersebut.

"Bukan setahun dua tahun, kan bertahun-tahun yang begini, mana lah tak ada yang hancur. Walaupun dia barang yang kuat pasti hancur soalnya kena air terus," ujar perempuan berusia 76 tahun itu.

Baca juga: Masjid Wal Adhuna, Pusat Ibadah yang Kini Terendam Rob Abadi

Tiap kali musim hujan yang berlangsung sejak November hingga Maret, rumah Rapeah selalu menjadi langganan banjir, atau acap dalam bahasa Melayu Pontianak. BBC Indonesia/Ayomi Amindoni Tiap kali musim hujan yang berlangsung sejak November hingga Maret, rumah Rapeah selalu menjadi langganan banjir, atau acap dalam bahasa Melayu Pontianak.
Tiap kali musim hujan yang berlangsung sejak November hingga Maret, rumah Rapeah selalu menjadi langganan banjir, atau acap dalam bahasa Melayu Pontianak.

Tiap malam, kala curah hujan tinggi, air pasang dari laut dan Sungai Kakap melanda area rumah, namun menyurut ketika pagi menjelang. Ada kalanya acap yang datang tak terbendung.

Bahkan, banjir itu pernah hampir merenggut nyawa cucunya.

"Cucu saya ini pernah hampir meninggal. Waktu subuh, ayah dan ibunya belum bangun. Dia masih bayi dan tidur di pinggir tempat tidur. Tiba-tiba air banjir datang dan basahlah sebelah badannya," tutur Rapeah.

Baca juga: Cerita Sutiyoso soal Konsep Tembok Raksasa untuk Tangani Banjir Rob

Meski rumahnya jadi langganan banjir laut, namun Rapiah masih enggan untuk pindah dari rumah yang ia tinggali sejak 1996 itu, meskipun anaknya menyarankan untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain.

Ia mengaku pasrah jika di tahun-tahun mendatang, ancaman banjir harus dia hadapi.

"Hati saya nggak mau rasanya mau pindah. Sayang rasanya, karena dekat masjid. Saya bilang, '[saya] sudah tua, tidak bisa kemana-mana'."

Kendati begitu, dia mengaku tak khawatir jika suatu kali banjir rob yang menerjang akan lebih dahsyat dari apa yang sudah terjadi. Di benaknya, genangan air pasti akan surut lantaran air akan selalu mengalir ke laut.

Baca juga: Soal Rob di Pesisir Jakarta, Anies Bilang Belum Ada Hal Mengkhawatirkan

Dia mengaku tak khawatir jika suatu kali banjir rob yang menerjang akan lebih dahsyat dari apa yang sudah terjadi. Di benaknya, genangan air pasti akan surut lantaran air akan selalu mengalir ke laut. BBC Indonesia/Ayomi Amindoni Dia mengaku tak khawatir jika suatu kali banjir rob yang menerjang akan lebih dahsyat dari apa yang sudah terjadi. Di benaknya, genangan air pasti akan surut lantaran air akan selalu mengalir ke laut.
"Ndak pernah saya bayangkan tu kalau penuh air rumah saya, ndak pernah. Tinggal pasrah aja saya seandainya air besar," paparnya.

Apa yang terjadi di Kubu Raya, menurut peneliti geodesi dan geomatika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas, adalah bukti banjir laut yang terjadi karena muka tanah turun dan muka air laut naik.

"Dan nanti ke depannya mungkin akan lebih buruk dari ini," cetusnya.

Baca juga: Benarkan Gerhana Bulan Sebabkan Banjir Rob, Ini Penjelasan BMKG

"Ketika lautnya lagi surut, mungkin ini lebih tinggi dari lautnya, tapi nanti suatu saat karena ini turun terus. Pada akhirnya ketika laut normal juga akan banjir dan bahkan akan permanen, akan tergenang terus," jelas Heri ketika ditemui di sela penelitiannya tentang penurunan muka tanah di Kubu Raya.

Ancaman tenggelam yang di depan mata, tidak hanya dihadapi oleh warga di pesisir Kalimantan Barat saja, melainkan hampir seluruh pesisir Indonesia, termasuk ibu kota Jakarta yang digadang-gadang sebagai kota paling cepat tenggelam di seluruh dunia.

Baca juga: Pemkot Jakarta Utara Persiapkan Langkah Antisipasi Banjir dan Rob

Puluhan juta jiwa hadapi ancaman banjir laut tahunan

Rapiah mengaku pasrah dengan nasibnya yang harus berjibaku dengan banir rob tiap tahun BBC Indonesia/Ayomi Amindoni Rapiah mengaku pasrah dengan nasibnya yang harus berjibaku dengan banir rob tiap tahun
Sekitar 23 juta orang di pesisir Indonesia diperkirakan harus menghadapi ancaman banjir laut tahunan pada tahun 2050 akibat peningkatan ketinggian air laut yang disebabkan perubahan iklim abad ini.

Merujuk pada studi yang dilakukan Climate Central, sebuah organisasi nonpemerintah yang bermarkas di Amerika Serikat, jumlah ini naik lima kali lipat ketimbang perkiraan sebelumnya.

Namun, Heri Andreas mengatakan ancaman tenggelam tak hanya disebabkan peningkatan ketinggian air laut saja, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor penurunan muka air tanah yang antara lain disebabkan ulah manusia.

"Ketika ancaman itu ada, [masyarakat] menyerahkan ke alam. Bahwa itu proses alam. Padahal sebenarnya bencana ini adalah ulah manusia," kata dia.

Baca juga: Gelombang Air Laut Berpotensi Rob di Pesisir Jakarta, Nelayan Pilih Tak Melaut

"Ini bukan bencana alam atau natural disaster, tapi man-made disaster," imbuhnya.

Dia menambahkan ancaman tenggelam karena makin tingginya permukaan air laut dan penurunan tanah, tak hanya dialami oleh Jakarta dan pesisir utara Pulau Jawa saja, namun juga pesisir timur Sumatra, Kalimantan dan Papua bagian selatan.

"Kalau kita bicara Indonesia, hampir di semua pesisir dataran rendah Indonesia itu berpotensi terjadi penurunan tanah dan tentunya ada sea level rise. Makanya berpotensi untuk ada banjir laut," ujar Heri.

Baca juga: Rob Sempat Terjadi di Muara Angke Pagi Tadi, Belum Sampai ke Rumah Warga

Tahap yang 'mengkhawatirkan'

Rumah-rumah di desa Bedono, Demak, Jawa Tengah yang tenggelam karena banjir rob yang terus melanda. Getty Images/Ulet Ifansasti Rumah-rumah di desa Bedono, Demak, Jawa Tengah yang tenggelam karena banjir rob yang terus melanda.
Menurut Heri, dalam skala nasional, ancaman tenggelamnya pesisir Indonesia sudah sampai pada tahap yang "mengkhawatirkan".

Kenaikan suhu global berimbas pada gunung es di kutub utara dan selatan, yang mencair dan mendorong kenaikan permukaan air laut.

Merujuk data satelit yang dikumpulkan selama 20 tahun oleh ITB, penurunan permukaan air laut di perairan Indonesia diperkiraan sekitar 3 - 8 mm per tahun.

Sementara, estimasi penurunan permukaan tanah diperkirakan lebih drastis, berkisar antara 1-10 cm per tahun. Bahkan, di beberapa tempat, penurunannya mencapai 15-20 cm per tahun.

Baca juga: BMKG Ingatkan Potensi Banjir Rob di Pesisir Surabaya, Sidoarjo dan Pasuruan

"Tapi secara umum 1-10 cm per tahun, itu terjadi terutama di daerah anglomerasi, pesisir yang banyak orangnya," jelas Heri.

"Sehingga kalau kita proyeksikan dua model itu maka jelas bahwa sebenarnya kondisi ini akan sangat-sangat mengkhawatirkan."

Faktor penurunan muka tanah, antara lain pengambilan air tanah yang berlebih karena bertumbuh pesatnya populasi dan infrastruktur dengan berat yang berlebih.

Selain itu, penurunan muka tanah juga terjadi karena konsolidasi natural atau terjadinya pemantapan tanah, yakni ada bagian yang terbentuk dari endapan lengkungan pasir-pasir halus yang kemudian mengeras.

Baca juga: Hari Air Sedunia 2020: Air dan Perubahan Iklim

Bawon, seorang warga Pekalongan, beradaptasi dengan banjir laut yang melanda tiap tahun dengan beraktivitas di atas dipan tempat tidurnya. Getty Images/Ulet Ifansasti Bawon, seorang warga Pekalongan, beradaptasi dengan banjir laut yang melanda tiap tahun dengan beraktivitas di atas dipan tempat tidurnya.
Eksploitasi air tanah yang berlebihan dipercaya sebagai salah satu tipe penurunan tanah yang dominan untuk kota-kota di pesisir yang terancam tenggelam.

Pesisir yang berada di kawasan yang lebih rendah dibandingkan permukaan air laut membuat daerah pesisir semakin rawan akan bencana berupa kenaikan permukaan air laut yang dapat menggenangi daratan yang biasa disebut dengan banjir laut atau banjir rob (tidal flood).

Baca juga: 5 Pertanyaan Paling Umum tentang Perubahan Iklim

Heri menambahkan potensi tenggelam yang mengancam hampir seluruh pesisir Indonesia, mengakibatkan lebih dari 100 kabupaten/kota di pesisir Indonesia berpotensi tenggelam, namun sayangnya tidak semua warga di pesisir menyadari ancaman itu.

"Lebih dari 100 kabupaten/kota yang berpotensi mengalami masalah ini."

"Tapi kalau dilihat apakah sudah aware semua, mungkin Jakarta dan Semarang, yang lain masih belum," katanya.

Baca juga: Banjir Jakarta Akibat Perubahan Iklim, Ini Upaya yang Bisa Dilakukan

Tulisan ini merupakan bagian dari laporan seri tentang Pesisir Indonesia yang terancam tenggelam di situs BBC News Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com