Salin Artikel

Perubahan Iklim, Pesisir Indonesia Terancam Tenggelam (1)

Namun, banyak dari mereka belum menyadari ancaman ini.

Upaya Rapeah mengepel lantai kayu di rumahnya yang tergenang air tampak sia-sia. Banjir rob yang melanda sejak sehari sebelumnya belum kunjung surut, padahal hari sudah menjelang siang.

Genangan air yang tampak jernih membenamkan seluruh pekarangan dan sebagian lantai rumah yang terletak dua kilometer dari muara Sungai Kakap, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Barang berharga dan pakaian dikemas agar terhindar dari basah. Kaki meja, kursi dan lemari kayu dan perabotan rumahnya tampak lapuk, tergerus oleh banjir rob atau banjir laut yang belakangan menjadi langganan area tersebut.

"Bukan setahun dua tahun, kan bertahun-tahun yang begini, mana lah tak ada yang hancur. Walaupun dia barang yang kuat pasti hancur soalnya kena air terus," ujar perempuan berusia 76 tahun itu.

Tiap malam, kala curah hujan tinggi, air pasang dari laut dan Sungai Kakap melanda area rumah, namun menyurut ketika pagi menjelang. Ada kalanya acap yang datang tak terbendung.

Bahkan, banjir itu pernah hampir merenggut nyawa cucunya.

"Cucu saya ini pernah hampir meninggal. Waktu subuh, ayah dan ibunya belum bangun. Dia masih bayi dan tidur di pinggir tempat tidur. Tiba-tiba air banjir datang dan basahlah sebelah badannya," tutur Rapeah.

Meski rumahnya jadi langganan banjir laut, namun Rapiah masih enggan untuk pindah dari rumah yang ia tinggali sejak 1996 itu, meskipun anaknya menyarankan untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain.

Ia mengaku pasrah jika di tahun-tahun mendatang, ancaman banjir harus dia hadapi.

"Hati saya nggak mau rasanya mau pindah. Sayang rasanya, karena dekat masjid. Saya bilang, '[saya] sudah tua, tidak bisa kemana-mana'."

Kendati begitu, dia mengaku tak khawatir jika suatu kali banjir rob yang menerjang akan lebih dahsyat dari apa yang sudah terjadi. Di benaknya, genangan air pasti akan surut lantaran air akan selalu mengalir ke laut.

Apa yang terjadi di Kubu Raya, menurut peneliti geodesi dan geomatika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas, adalah bukti banjir laut yang terjadi karena muka tanah turun dan muka air laut naik.

"Dan nanti ke depannya mungkin akan lebih buruk dari ini," cetusnya.

"Ketika lautnya lagi surut, mungkin ini lebih tinggi dari lautnya, tapi nanti suatu saat karena ini turun terus. Pada akhirnya ketika laut normal juga akan banjir dan bahkan akan permanen, akan tergenang terus," jelas Heri ketika ditemui di sela penelitiannya tentang penurunan muka tanah di Kubu Raya.

Ancaman tenggelam yang di depan mata, tidak hanya dihadapi oleh warga di pesisir Kalimantan Barat saja, melainkan hampir seluruh pesisir Indonesia, termasuk ibu kota Jakarta yang digadang-gadang sebagai kota paling cepat tenggelam di seluruh dunia.

Merujuk pada studi yang dilakukan Climate Central, sebuah organisasi nonpemerintah yang bermarkas di Amerika Serikat, jumlah ini naik lima kali lipat ketimbang perkiraan sebelumnya.

Namun, Heri Andreas mengatakan ancaman tenggelam tak hanya disebabkan peningkatan ketinggian air laut saja, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor penurunan muka air tanah yang antara lain disebabkan ulah manusia.

"Ketika ancaman itu ada, [masyarakat] menyerahkan ke alam. Bahwa itu proses alam. Padahal sebenarnya bencana ini adalah ulah manusia," kata dia.

"Ini bukan bencana alam atau natural disaster, tapi man-made disaster," imbuhnya.

Dia menambahkan ancaman tenggelam karena makin tingginya permukaan air laut dan penurunan tanah, tak hanya dialami oleh Jakarta dan pesisir utara Pulau Jawa saja, namun juga pesisir timur Sumatra, Kalimantan dan Papua bagian selatan.

"Kalau kita bicara Indonesia, hampir di semua pesisir dataran rendah Indonesia itu berpotensi terjadi penurunan tanah dan tentunya ada sea level rise. Makanya berpotensi untuk ada banjir laut," ujar Heri.

Kenaikan suhu global berimbas pada gunung es di kutub utara dan selatan, yang mencair dan mendorong kenaikan permukaan air laut.

Merujuk data satelit yang dikumpulkan selama 20 tahun oleh ITB, penurunan permukaan air laut di perairan Indonesia diperkiraan sekitar 3 - 8 mm per tahun.

Sementara, estimasi penurunan permukaan tanah diperkirakan lebih drastis, berkisar antara 1-10 cm per tahun. Bahkan, di beberapa tempat, penurunannya mencapai 15-20 cm per tahun.

"Tapi secara umum 1-10 cm per tahun, itu terjadi terutama di daerah anglomerasi, pesisir yang banyak orangnya," jelas Heri.

"Sehingga kalau kita proyeksikan dua model itu maka jelas bahwa sebenarnya kondisi ini akan sangat-sangat mengkhawatirkan."

Faktor penurunan muka tanah, antara lain pengambilan air tanah yang berlebih karena bertumbuh pesatnya populasi dan infrastruktur dengan berat yang berlebih.

Selain itu, penurunan muka tanah juga terjadi karena konsolidasi natural atau terjadinya pemantapan tanah, yakni ada bagian yang terbentuk dari endapan lengkungan pasir-pasir halus yang kemudian mengeras.

Pesisir yang berada di kawasan yang lebih rendah dibandingkan permukaan air laut membuat daerah pesisir semakin rawan akan bencana berupa kenaikan permukaan air laut yang dapat menggenangi daratan yang biasa disebut dengan banjir laut atau banjir rob (tidal flood).

Heri menambahkan potensi tenggelam yang mengancam hampir seluruh pesisir Indonesia, mengakibatkan lebih dari 100 kabupaten/kota di pesisir Indonesia berpotensi tenggelam, namun sayangnya tidak semua warga di pesisir menyadari ancaman itu.

"Lebih dari 100 kabupaten/kota yang berpotensi mengalami masalah ini."

"Tapi kalau dilihat apakah sudah aware semua, mungkin Jakarta dan Semarang, yang lain masih belum," katanya.

Tulisan ini merupakan bagian dari laporan seri tentang Pesisir Indonesia yang terancam tenggelam di situs BBC News Indonesia.

https://regional.kompas.com/read/2020/03/26/12320031/perubahan-iklim-pesisir-indonesia-terancam-tenggelam-1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke