KENDAL, KOMPAS.com- Keterbatasan fisik dan mental tidak mempengaruhi seseorang untuk berkarya. Seperti yang dilakukan oleh siswa-siswi Sekolah Luar Biasa ( SLB) Mutiara Bangsa, Desa Curugsewu Patean Kendal Jawa Tengah.
Meskipun, mereka ada yang tuna rungu, tuna wicara, dan autis, tapi bisa membatik dengan baik.
Bahkan kain batik karya anak-anak SLB Mutiara Bangsa ini, digemari oleh pecinta batik dari luar negeri.
Pembeli batik karya anak SLB Mutiara Bangsa, berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Belgia, dan Belanda. Mereka membeli ketika SLB Mutiara Bangsa, ikut pameran batik di Jakarta.
Baca juga: Sumur Warga di Kulon Progo Diduga Tercemar Limbah Batik, Ini Kata DLH
Menurut salah satu guru SLB Mutiara Bangsa, Hanna Dwi Prastyaningsih, ada 32 siswa yang belajar di sekolahnya. Mereka ada yang berusia dewasa. Siswa yang sudah berusia dewasa tersebut, ia ajari membatik.
“Hasilnya sangat baik,” kata Hanna, Selasa (21/01/2020).
Hanna, menjelaskan siswa SLB Mutiara Bangsa yang pertama belajar membatik adalah, Ahmad Priadi (26).
Pria dewasa yang mengidap autisme itu, sudah belajar membatik 4 tahun lalu. Setelah itu, menyusul siswa yang lain.
“Achmad siswa yang cerdas. Ia tidak pernah belajar membaca dan menulis, tapi bisa dengan sendirinya,” ujarnya.Baca juga: Ikut Semarang 10K, Pelari Ini Pakai Kain Batik Lengkap dengan Blangkon
Achmad, tambah Hanna, spesialis mencanting. Hasil cantingan Achmad sangat halus, dan paling rapi kalau dibandingkan dengan teman-temannya.
Jika Achmad mempunyai ketrampilan mencanting, siswa SLB Mutiara Bangsa lain, Katarina (19), sangat piawai dalam mewarnai kain yang sudah dibatik.
“Katarina, siswa tuna wicara. Tapi kalau memilih warna paling serasi dengan motif batiknya,” ucapnya.
Ide membuat batik ini, berawal dari keprihatinan guru-guru SLB Mutiara Bangsa kepada siswanya yang sudah lulus sekolah.
Mereka tidak mempunyai kegiatan. Lalu, siswa-siswi yang sudah lulus itu, ditarik lagi untuk diajari membatik dan dijadikan asisten mengajar.
“Kalau jumlah gurunya ada 6 orang dan beberapa volunteer,” aku Hanna.
Jenis batik karya anak SLB Mutiara Bangsa, tambah Hanna, adalah batik tulis dan batik ciprat.
Untuk batik tulis, dibuat oleh siswa yang sudah dewasa, sedang batik ciprat oleh anak-anak.
Baca juga: Manggung di Jakarta, Agnez Monica Tampil Bernuansa Batik
Keduanya mempunyai kekhasan tersendiri. Jika batik tulis mempunyai keunggulan pada gambar, sedang batik ciprat pada cipratanya.
“Satu lembar kain batik ciprat, dikerjakan oleh beberapa anak. Anak autis dan tuna rungu atau tuna wicara, gaya cipratannya sendiri-sendiri,” ujarnya.
Hanna, menambahkan pewarna batik yang digunakan berasal dari alam. Mulai dari kulit manggis, buah joho, pace, mangrove, dan indigovera. Sedang corak batik tulisnya adalah flora fauna.
“Dulu sebelumnya kami pernah memakai pewarna kimia. Tapi ada siswa yang alergi dengan bahan kimia. Lalu kami ganti dengan warna alam. Hasilnya ternyata lebih baik, meskipun kami harus sedikit kesulitan mencari bahannya,” jelas Hanna.
Baca juga: Biografi Samanhudi, Pahlawan dan Pedagang Batik
Salah satu volunteer SLB Mutiara Bangsa, Budi, mengaku meskipun anak -anak mempunyai keterbatasan fisik dan mental, kecerdasannya tidak kalah dengan anak-anak normal.
Anak – anak SLB Mutiara Bangsa, bisa cepat menangkap pelajaran yang disampaikan guru.
“Karena komunikasinya sedikit terhambat, jadi kita mengucapkannya harus berulang-ulang,” jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.