Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024

Pengungsi Nduga Papua, Melahirkan di Tengah Konflik Senjata dan Sang Anak Diberi Nama Pengungsi

Kompas.com - 07/08/2019, 06:11 WIB
Editor Rachmawati

KOMPAS.com - Bayi laki-laki itu menangis di pangkuan ibunya. Nafasnya berat, sementara badannya yang demam tanpa ditutupi sehelai kain pun.

Sang ibu, Jubiana Kogeya, tampak kebingungan. Beberapa kali dia mencoba menenangkan anaknya dengan menyusuinya, namun tak setitik pun ASI keluar. Oleh sang ibu, bayi itu dinamai Pengungsi.

"Karena melahirkan dalam hutan, dalam pengungsian, jadi saya kasih nama Pengungsi," jawab Jubiana ketika ditanya alasan anak keempatnya itu dinamai Pengungsi.

Pengungsi lahir sekitar empat bulan lalu, ketika ibunya dalam pelarian dari rumahnya di distrik Mugi, untuk menghindari kontak bersenjata antara TNI/Polri dengan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua.

Baca juga: Konflik Bersenjata, Pendidikan 700-an Anak Pengungsi Nduga di Papua Terbengkalai

Awalnya, Jubiana yang saat itu hamil besar, enggan untuk mengungsi. Sementara, suami dan ketiga anaknya lain kala itu sudah bersiap mengungsi.

"Pada saat penyerangan dan pembakaran di distrik Yigi dan Yal itu saya masih bertahan. Begitu terjadi di Mugi, itu baru mulai bergerak ke luar rumah," tutur Jubiana kepada BBC News Indonesia, Jumat (02/08) silam.

"Saya melihat suami saya pegang anak-anak di kedua tangannya, akhirnya saya terpaksa ikut mengungsi. Saya dengar di Mugi sudah ada tentara, ada penembakan, pembakaran, akhirnya ke luar rumah, masuk ke hutan," ujarnya.

Jubiana dan ketiga anaknya yang masih kecil harus berjibaku dengan cuaca dingin pegunungan dok BBC Indonesia Jubiana dan ketiga anaknya yang masih kecil harus berjibaku dengan cuaca dingin pegunungan

Selama berhari-hari, Jubiana dan ketiga anaknya yang masih kecil harus menghadapi cuaca dingin pegunungan dan makan semacam tumbuhan paku yang tumbuh di hutan untuk asupan sehari-hari.

Hingga akhirnya sekitar April lalu, dirinya terpaksa melahirkan di hutan.

"Saya sendirian, tidak ada yang temani, [saya melahirkan] di bawah pohon." ujar Jubiana, sambil berupaya menenangkan Pengungsi yang terus menangis.

"Anak ini posisinya melintang [di perut], prosesnya hampir taruhan nyawa. Saya pikir anaknya sudah meninggal, karena ketika mau melahirkan saya tekan, saya atur sendiri, dia melintang, jadi saya atur. Saya pikir anak ini sudah meninggal," ungkapnya.

Baca juga: Kisah Pengungsi Nduga Papua, Tak Punya apa-apa dan Ingin TNI Ditarik Agar Bisa Kembali ke Desa

Sejak dilahirkan April lalu, Pengungsi tidak pernah mengenakan baju. Ketika cuaca dingin menerjang, Jubiana hanya bisa memeluk anaknya erat dan menyelimutinya dengan anyaman daun pandan.

"Bikin tikar pakai daun pandan, lalu kasih alas dia, terus peluk dia," jelas Jubiana.

Jubiana sempat mengira Pengungsi meninggal di dalam perut. dok BBC Indonesia Jubiana sempat mengira Pengungsi meninggal di dalam perut.

Jubiana merupakan salah satu dari ribuan warga Nduga yang kini terpaksa harus mengungsi dari konflik yang berkecamuk di Nduga.

Pengungsi lain, Katarina Kogeya dan delapan anaknya terpaksa bertahan di hutan selama beberapa lama untuk menghindari kontak senjata di kampungnya di distrik Yal.

"Tidak sempat bawa apa-apa. Bawa anak saja di tangan sampai di hutan kami bikin tenda-tenda di hutan dari daun-daun. Anak-anak ini menangis minta makan karena tidak ada makan lagi."

"Akhirnya harus pindah lagi dari tempat itu ke tempat yang jauh ke dalam hutan yang lebih rimba lagi."

Bayi perempuan yang lahir Maret lalu ini dinamai Pengusina oleh ibunya. dok BBC Indonesia Bayi perempuan yang lahir Maret lalu ini dinamai Pengusina oleh ibunya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke