Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/06/2019, 16:08 WIB
Sukoco,
Rachmawati

Tim Redaksi

MAGETAN , KOMPAS.com  -  Mbah Sarni (101), warga Desa Ngunut Kabupaten Magetan Jawa Timur terlihat masih gesit mengayuh meja kecil berputar di depannya yang berisi adonan tanah liat berwarna hitam pekat.

Tangannya juga cekatan mencelupkan lap basah untuk membentuk tanah liat di tengah meja bulat yang terus berputar, Minggu (30/6/2019).

Mbak Sarni tengah menyelesaikan pesanan puluhan cobek tanah liat.

Meski telah berusia seabad lebih, Nenek Sarni masih aktif membuat gerabah. Ia mengaku sebagai generasi ke-7 dari keluarganya yang bekerja sebagai pembuat gerabah. Pekerjaan tersebut sudah dilakoni Mbah Sarni sejak zaman perang kemerdekan.

“ Sudah dari mbahnya simbah dulu kami membuat gerabah. Saya selesai sekolah SR sudah membuat gerabah. Sekarang anak saya yang melanjutkan, karena inilah pekerjaan kami,” ujarnya.

Baca juga: Cerita Seorang Kakek 92 Tahun Nikahi Nenek 79 tahun, Saling Cinta karena Kayu Bakar

Ia bercerita jika dulu membuat gerabah adalah pekerjaan bergengsi, karena semua peralatan memasak di dapur menggunakan gerabah, mulai dari tungku hingga wajan.

"Dulu buat dandang, kuali, kendil, wajan, anglo, semua kami bikin. Tapi sekarang hanya bikin cobek karena hanya itu yang laku,” imbuhnya.

Sambil bercerita, tangan kiri Mbah Sarni merapikan bentuk cobek dengan sebuah plastik pipih sehingga permukaan cobek lebih licin.

Selain membuat gerabah, Sarni juga mengaku menjual sendiri gerabah hasil karyanya berkelling desa hingga kota tetangga dengan menggunakan ontel. Bahkan untuk berjualan keliling, Sarni mengaku harus menginap dari kampung ke kampung.

"Dulu keliling pakai sepeda ontel dari kampung ke kampung.Ke Pasar Magetan ke Pasar Plaosan. Kalau jualan bisa empat hari sampai susunan gerabah di sepeda habis. Disusun tinggi itu gerabah di belakang sepeda,” ucapnya.

Meski telah menikah memiliki delapan anak, Sarni tetap setia menekuni pembuatan gerabah bahkan hingga semua anaknya menikah.

Baca juga: Kisah Nenek 72 Tahun Lumpuhkan Penjahat, Korban Terseret 20 Meter hingga Pelaku Tewas

Saat ini, Sarni dibantu anak bungsunya Karniem (65)  masih tetap setia mengayuh perbot (meja berputar untuk membentuk tanah liat) untuk membuat cobek.

“Biasanya jika bikin gerabah dari kecil, tidak bisa bertani. Kalau masak ya nempur (beli beras),” terangnya.

Sementara itu, Karniem, anak kandung Mbah Sarni yang juga membuat gerabah bercerita jika saat ini tidak ada yang anak muda minat untuk bekerja membuat gerabah. Hal tersebut berbeda saat masa ibu dan neneknya.

Di desanya, pembuat gerabah hanyalah perempuan yang berusia tua. Bahkan dari delapan bersaudara, hanya dia yang mengikuti jejak ibunya membuat gerabah.

“ Saudara yang lain berpencar mengikuti suami mereka. Kalau warga sini kebanyakan memilih mencari kerja di luar negeri karena duitnya banyak. Yang masih kerja kaya gini ya tinggal perempuan tua,” ujarnya.

Cobek Dihargai Rp 1.000 Per Buah

Saat ini penghasilan membuat gerabah tidak banyak, karena masyarakat banyak yang beralih menggunakan peralatan alumunium dan listrik.

Gerabah yang laku djual hanya cobek, itu pun ditingkat pengepul hanya dibeli Rp 1.000 pe buah.

"Kalau sudah dibakar, satu biji cobek ini diterima pengepul seharga seribu rupiah,” imbuhnya.

Jika masuk musim kemarau seperti saat ini, ia dan ibunya bisa membuat 200 cobek dalam waktu tiga hari. Berbeda saat musim hujan, untuk 200 cobek mereka membutuhkan waktu lebih lama, yakni sekitar 2 minggu.

"Kalau musim hujan nunggu dua minggu agar terkumpul banyak cobek yang kering baru dibakar. Kalau sekali membakar bisa 500 buah,” ujarnya.

Karniem mengaku pernah diberi pelatihan oleh pemerintah daerah untuk membuat gerabah, seperti kendi dan bermacam bentuk gerabah lainnya.

Baca juga: Cerita Nenek 72 Tahun Gagalkan Aksi Penipuan, Korban Terseret 20 Meter dan Pelaku Tiba-tiba Tewas

Namun rumitnya pembuatan dan tidak adanya alat yang memadai membuat dia dan ibunya kembali membuat cobek.

"Butuh sudut sudut gitu buat kendi, ribet masih kalah dengan daerah lain. Lagi-lagi yang laku ya hanya cobek kalau disini,” katanya.

Karniem mengaku akan tetap bertahan membuat cobek meskipun satu buah dihargai Rp 1.000.

Selain karena tidak memiliki keahlian lain, Karniem mengaku punya tanggungan hutang kepada pengepul gerabah.

Dia merasa hutangnya kepada pengepul tak akan pernah habis karena untuk biaya membeli tanah liat dan membakar gerabah mereka harus kembali berhutang.

"Pasarannya ada yang Rp 1.500, kalau saya punya hanya dihargai Rp 1.000  karena kita ngutang dulu buat beli tanah, bakar cobek, dan buat belanja harian,” imbuhnya.

Saat ini dia mengaku cobek buatannya harus bersaing dengan cobek yang dibuat menggunakan mesin.

Baca juga: Rampok dan Bunuh Seorang Nenek, Mamet Terancam Hukuman Penjara Seumur Hidup

Minimnya modal bahkan membuat Karniem tidak bisa menyewa alat penggilingan tanah liat sehingga dia harus mengerjakan semuanya secara manual.

Setiap hari dia harus menginjak injak dan meremas tanah lempung. Sebelumnya, tanah lempung tersebut dijemur hingga kering kemudian direndam semalaman dengan air.

“ Terpaksa diulenin sendiri pake tangan karena tidak ada uang untuk sewa molen,” ucanya.

Meski berusia lebih dari seabad, Mbah Sarni mengaku akan terus membuat gerabah selagi masih mampu. Baginya membuat gerabah adalah pengabdian hidup agar bisa berguna bagi orang lain.

"Dari dulu sampai sekarang gerabah akan tetap dibutuhkan, meski tak seramai dulu. Saya tetap akan tetap  membuat gerabah,” pungkasnya sambil tersenyum. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Kisah Pengojek Indonesia dan Malaysia di Tapal Batas, Berbagi Rezeki di 'Rumah' yang Sama...

Kisah Pengojek Indonesia dan Malaysia di Tapal Batas, Berbagi Rezeki di "Rumah" yang Sama...

Regional
Menara Pengintai Khas Dayak Bidayuh Jadi Daya Tarik PLBN Jagoi Babang

Menara Pengintai Khas Dayak Bidayuh Jadi Daya Tarik PLBN Jagoi Babang

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com