Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

7 Fakta Kisah Wally Jadi WNI, 42 Tahun Tinggal di Papua hingga Dirikan 7 Sekolah

Kompas.com - 02/06/2019, 10:25 WIB
Michael Hangga Wismabrata,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Wallace Dean Wiley (71) akhirnya mengucap janji untuk setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hari Kamis (23/5/2019) di Aula Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) Papua.

Hal itu menjadi tanda dirinya tak lagi warga negara Amerika, tapi resmi menjadi warga negara Indonesia.

Selama 8 tahun Wally harus menunggu untuk menyandang WNI. Dirinya mengakui, hal itu tak lepas dari dukungan keluarga.

Saat ditanya alasan dirinya melepas kewarganegaraan Amerika, Wally pun menjawab singkat, cinta Papua dan Indonesia.

Berikut ini fakta lengkap sosok Wally:

1. Kepedulian Wally selama 42 tahun tinggal di Papua

Pilot pesawat perintis Manokwari - Teluk Bintuni, Papua Barat.Dok. MAPALA UI Pilot pesawat perintis Manokwari - Teluk Bintuni, Papua Barat.

Wally sudah 42 tahun tinggal di Kabupaten Jayapura dan selama 38 tahun berkecimpung di dunia penerbangan melalui MAF Aviation, sebuah perusahaan penerbangan perintis.

Dalam 4 tahun terakhir, pria kelahiran 5 April 1948 di Washington State, Washington DC, Amerika Serikat itu, mulai mengabdikan diri untuk pendidikan anak-anak Papua dengan mendirikan Yayasan Papua Harapan.

"Dulu saya kepala MAF. Saya frustasi karena kami tidak dapat seorang Papua sebagai pilot atau mekanik. Di situ saya mulai tanya kenapa kami gagal terus dan setelah saya kumpulkan banyak orang untuk bicarakan hal itu akhirnya kami putuskan bahwa itu sebetulnya dalam hal problem solving. Ambil keputusan dengan cepat dan benar dengan memikirkan sesuatu di sini tetapi bisa untuk memecahkan masalah di sana," ujar Wally kepada Kompas.com, Kamis (30/05/2019).

Baca Juga: 42 Tahun Tinggal di Papua dan Dirikan 7 Sekolah, Pria Asal Amerika Ini Resmi Jadi WNI

2. Membuka sekolah untuk anak-anak Papua

Sejumlah siswa SD Inpres Tiom pulang dari sekolahnya di Kabupaten Lanny Jaya, Papua.  KOMPAS/ICHWAN SUSANTO Sejumlah siswa SD Inpres Tiom pulang dari sekolahnya di Kabupaten Lanny Jaya, Papua.

Bersama dua rekannya, Johannes Oentoro dan James Riyadi, Wally mendirikan Yayasan pelita Harapan.

Johannes Oentoro dan James Riyadi disebut Wally berperan penting bagi dirinya ketika membuat keputusan untuk mendirikan sekolah berkualitas di Papua.

"Dulu saya sangka mereka akan buka sekolah di sini. Akhirnya saya tunggu-tunggu saya mulai frustasi dan mereka bilang Papua itu terlalu jauh, kenapa pak Wally tidak buka sendiri. Kami akan dukung. Jadi baru saya mulai pikirkan itu," tuturnya.

Dari situlah Wally bertekad untuk mendirikan satu sekolah dan kini berkembang menjadi tujuh sekolah yang tersebar di Papua.

Satu sekolah di Kabupaten Jayapura, dua sekolah di Tolikara, dua sekolah di Yahukimo, satu sekolah di Intan Jaya, dan satu sekolah di Boven Digoel.

Baca Juga: Perjalanan Ani Yudhoyono Berjuang Melawan Kanker Darah...

3. Perjuangan Wally mendirikan sekolah

Pemandangan bentang alam Papua Barat dilihat dari pesawat perintis.Dok. MAPALA UI Pemandangan bentang alam Papua Barat dilihat dari pesawat perintis.

Bukan hal mudah bagi Wally untuk mendirikan sekolah di Papua. Saat itu, status warga negaranya masih tercatat sebagai WNA Amerika.

Banyak prosedur yang menghambat dirinya untuk mewujudkan mimpinya, mendirikan sekolah bagi generasi muda Papua.

"Pasti ada perbedaan yang mendasar, sekarang jauh lebih bebas. Dulu saya punya sekolah bisa (didirikan) di bawah perusahaan ini (MAF Aviation), tapi di imigrasi kalau kita dapat visa itu tidak bisa bekerja untuk dunia pendidikan. Memang saya bisa mendorong untuk bentuk yayasan tapi untuk bisa bebas bergerak dalam pendidikan atau kesehatan itu tidak bisa," katanya.

Sementara itu, untuk merekrut anak-anak di pedalaman, ia bekerja sama dengan misionaris, karena menurutnya cara tersebut cukup efektif untuk mendapatkan anak-anak berpotensi.

Baca Juga: Tujuh Putra Papua Lulus dari Universitas Ternama di Amerika Serikat

4. Rasa cinta kepada Indonesia, khususnya Papua

Danau Sentani, Papua.https://pesona.travel Danau Sentani, Papua.

Wally datang ke Papua sejak 1977, namun keinginanya untuk menjadi WNI muncul 34 tahun setelahnya atau pada tahun 2011.

Keputusan tersebut mendapat dukungan penuh dari sang istri, Jhon Wiley dan kedua anaknya Josenda Jacinda dan Jared. Meski keluarganya tidak mengikuti jejaknya. Namun, Wally melihat ada kemungkinan hal tersebut akan terjadi.

"Keluarga belum jadi WNI. Istri saya belum tapi dua anak saya ada di sini, termasuk juga cucu saya. Mungkin mereka akan perhatikan keadaan saya. Bagaimana saya setelah jadi WNI, baru mereka ambil keputusan. Tapi mereka semua mendukung saya. Ini prosesnya sudah delapan tahun," kata Wally.

Baca Juga: Kisah Mahasiswa Papua Lulus Magna Cum Laude dari Universitas di AS, Ingin Pulang Kampung hingga Bakar Batu di Oregon

5. Ingin mengabdi pada Indonesia hingga akhir hayat

Bendera Indonesia.Thinkstock Bendera Indonesia.

Wally yang kini memiliki empat orang cucu, menganggap apa yang telah ia putuskan tidak lain karena panggilan dari Tuhan.

Ia yang lahir dari keluarga misionaris meyakini bila Tuhan sudah memberikan petunjuk agar ia terus mengabdi di Papua.

"Kembali lagi dari panggilan Tuhan. Ini tempat yang dia kasih. Kalau kami betul-betul ikut Tuhan, dia akan tunjukan dimana tempatnya dan dia akan membagi sebagian hatinya. Jadi Tuhan bagi hati kepada saya untuk cinta Indonesia, khususnya Papua," ucapnya.

Baca Juga: Menunggu 35 Tahun, Kampung di Papua Barat Akhirnya Teraliri Listrik

6. Pengalaman dicurigai petugas keamanan

Anak-anak sekolah dasar di landasan pacu Bandara Merdey, Teluk Bintuni, Papua Barat.Dok. MAPALA UI Anak-anak sekolah dasar di landasan pacu Bandara Merdey, Teluk Bintuni, Papua Barat.

Wally menyadari ada rasa kecurigaan terhadap dirinya sebagai orang asing dari aparat keamanan karena kedekatannya dengan penduduk asli, terutama di wilayah pedalaman.

Bekerja sebagai pilot perintis, membuatnya banyak melihat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat di pedalaman.

"Saya tahu mereka (aparat keamanan) selalu sedikit ragu-ragu dengan kita, karena kami dekat dengan anak di pedalaman. Saya tahu keraguan itu karena ada sebagian rakyat Papua ingin kemerdekaan. Sebetulnya saya tidak dukung itu, itu bukan tujuan saya sama sekali."

Baca Juga: NU Papua Imbau Elemen Bangsa Jaga Persaudaraan

7. Ingin melihat Presiden Indonesia dari Papua

Para penumpang turun dari pesawat perintis yang melayani rute Merauke - Tanah Merah di Bandar Udara Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Selasa (2/7/2013). Pesawat perintis sangat efektif untuk membuka keterisolasian wilayah di Papua yang sebagian besar wilayahnya hutan dan tidak dapat ditembus melalui jalur darat maupun laut atau sungai. Pemerintah daerah memberikan subsidi anggaran untuk melayani rute-rute tersebut. KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Para penumpang turun dari pesawat perintis yang melayani rute Merauke - Tanah Merah di Bandar Udara Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Selasa (2/7/2013). Pesawat perintis sangat efektif untuk membuka keterisolasian wilayah di Papua yang sebagian besar wilayahnya hutan dan tidak dapat ditembus melalui jalur darat maupun laut atau sungai. Pemerintah daerah memberikan subsidi anggaran untuk melayani rute-rute tersebut.

Wally menyadari kualitas dan kondisi pendidikan di tanah Papua. Namun dengan tegas, Wally menyatakan ada satu mimpi yang ia ingin lihat semasa dirinya masih hidup, yaitu menyaksikan langsung orang Papua bisa meraih posisi tertinggi di Indonesia.

"Saya senang sekali kalau suatu waktu itu Presiden Indonesia dari Papua dan itu bisa jadi. Alasan saya ingin membangun Papua adalah supaya tidak ada alasan lagi untuk orang memikirkan mereka (orang Papua) orang bodoh atau keterbelakangan. Mereka ada potensi luar biasa. Mereka akan jadi orang yang luar biasa," cetusnya.

Selain itu, Wally juga berharap ada peningkatan mutu pendidikan di tanah Papua, sehingga orang asli Papua bisa bersaing dan menjadi pemimpin di setiap sektor kehidupan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan jiwa kepemimpinan yang kuat dan harus dipupuk sejak usia dini. Karena itu, di Sekolah Harapan Papua, ia menerapkan sistem CASH.

"Kami jalan dengan CASH. Caracter (karakter), Atitude (sikap), Skill (keahlian), dan Habit (kebiasaan). Ini betul-betul jadi prioritas kami. Karakter dulu baru sikapnya, kemudian keahlian yang kemudian jadi kebiasaan," tuturnya lagi.

Baca Juga: 52 WNA Dideportasi dari Papua, Paling Banyak Warga PNG

Sumber: KOMPAS.com (Dhias Suwandi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com