Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perkembangan Bioskop di Surakarta, dari yang Lawas Melegenda hingga "Cineplex"

Kompas.com - 22/03/2019, 19:27 WIB
Aswab Nanda Prattama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Industri layar lebar di Kota Surakarta tak bisa dipandang sebelah mata, apalagi setelah Jepang keluar dari Indonesia. Jika di era Jepang bioskop hanya menjadi media untuk memutar film propaganda, era setelahnya film menjadi wahana hiburan yang istimewa.

Faktornya perkembangan film adalah antusiasme masyarakat dan budaya menonton mulai tumbuh seiringnya waktu. Industri bioskop juga mengimbanginya dengan memberikan fasilitas yang lebih baik.

Salah satunya adalah dengan hadirnya bioskop yang melegenda, yaitu Ura Patria. Bioskop ini dulunya terletak di Jalan Slamet Riyadi. Saat ini, bioskop sudah tutup dan berganti wajah menjadi toko elektronik.

Ura Patria atau yang dikenal dengan UP Theatre, menjadi populer karena menyewa andong untuk mempromosikan film-film terbaiknya kepada masyarakat. Andong beroda empat ditarik dengan kuda keliling wilayah-wilayah.

"Jadi andongnya diberi kain ditambah toa atau speaker dan keliling kota. Salah satu orang ngomong dan mempromosikan film," kata pemerhati sejarah, Ari Headbang, dalam acara diskusi sejarah pada Kamis (21/03/2019) malam di Rumah Budaya Kratonan, Surakarta.

Baca juga: Mengenang Bioskop Tua di Surakarta, dari Poster Film hingga Karakter Penonton

Unik dan kreatif merupakan kunci utama dari pemasaran film oleh bioskop-bioskop di kota yang juga dikenal dengan sebutan Solo di masa lalu. Berbagai upaya dilakukan agar mendapatkan penonton yang banyak.

Keunikan lainnya adalah, promosi Ura Patria menggunakan tagline mengenai film yang mereka putar. Jadi selalu ada tulisan-tulisan menarik di depan bioskop.

"'Otot kawat, balung wesi', yang merujuk pada tokoh Gatot Kaca. Tapi sebenarnya film yang diputar adalah Terminator. Jadi tagline itu bisa membuat tawa penonton yang menuju bioskop," kata Ari.

Selain itu, ada juga tagline yang bisa dikatakan nyeleneh. Pasalnya, ada beberapa film pada era 1980-an yang bisa dikatakan vulgar. Tak heran UP menggunakan tagline seperti "SEX, PANAS" dan "GAWE SUMUK".

Tagline seperti inilah yang banyak digunakan oleh bioskop di Solo. Pamflet dan banner juga terpasang di depan bioskop untuk menunjukkan film yang sedang tayang kepada masyarakat.

Menariknya lagi, Ura Patria tercatat sebagai bioskop pertama yang mengadakan pertunjukan tengah malam atau midnight di Indonesia.

Kejayaan bioskop di Solo

Masa-masa kejayaan bioskop di Solo terjadi memasuki era 1970-an. Ketika itu dunia perfilman mulai menjamur. Puluhan bioskop mulai bermunculan dan berkembang, yang terbagi dalam tiga kategori: atas, menengah, dan kelas bawah.

Bioskop papan atas muncul seperti Presiden Theatre (Purwosari) dan Angkasa Theatre (Komplek RRI Surakarta). Kelas menengah seperti Galaxy Theatre (Laweyan).

Bioskop papan bawah lebih banyak lagi, seperti Remaja Theatre (Sudiroprajan), Dewi Theatre (Kampung Baru), Kartika Theatre (Timur Gapura Gladak), Rama Theatre (barat perempatan Panggung), Jaya Theatre/ Wijaya/Regent (timur perempatan Gemblegan).

Selain itu ada juga Patriot Theatre (Purwosari), Nusukan Theatre (Nusukan), Fortuna Theatre (Gandekan), Cemani Theatre (Cemani) dan masih banyak lainnya yang hadir di pinggiran Kota Surakarta.

Bioskop itu menggunakan prinsip baru, unik, dan berbeda. UP Theatre yang menggunakan andong, kini bioskop itu menerapkan prinsip jemput bola dan menyusur ke menengah ke bawah.

Berbeda dengan bioskop kelas menengah atas, film menengah ke bawah menggunakan prinsip "film balen", artinya film yang telah lama tayang akhirnya ditayangkan kembali.

Keuntungan lain adalah dengan menggunakan tiket yang lebih murah dan ekonomis.

Baca juga: Dari Paris ke Surakarta, dari Layar Tancap hingga Tergusurnya Bioskop Tua...

Era Cineplex

Surakarta mulai mengenal konsep Cineplex pada 1990. Kota Solo dihadapkan dengan bioskop baru yang mempunyai delapan ruang theater, ber-AC, kursi nyaman dan tata suara Dolby ultra stereo.

Salah satu bioskop yang menggunakan konsep ini adalah Atrium 21 di Solo Baru, Sukoharjo. Atrium dilengkapi dengan hall bermain, kafe, permainan dan parkir yang luas.

Fasilitas kelas pertama itu menjadi acuan Atrium 21 sebagai bioskop modern di Surakarta. Tiap promosinya, bioskop ini diklaim sebagai "pasar film" terlengkap, terbesar dan baru pertama di Indonesia.

Konsep yang paling menonjol dalam Cineplex adalah dalam satu gedung bioskop terdapat beberapa studio yang memutar film yang berbeda-beda.

Sayangnya, konsep ini gagal diadopsi oleh bioskop lainnya di Surakarta. Tantangan dan biaya yang besar menjadi kendala utama.

Keadaan bioskop semakin menunjukan penurunan semenjak berkembangnya VCD, DVD dan pemutar video di masyarakat. Industri bioskop semakin menurun karena masalah itu.

Perlahan, bioskop-bioskop  yang ada mulai tutup. Pemutaran film kini hanya dikuasai bioskop besar yang mampu menghadirkan konsep cineplex.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com