Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kristoforus, dari Gagal Panen Padi Beralih Panen Naga Ratusan Jutaan Rupiah Per Tahun

Kompas.com - 03/03/2019, 11:22 WIB
Markus Makur,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


MAUPONGGO, KOMPAS.com - Peristiwa gagal panen pagi pada 2012-2013 membuat Kristoforus Jawa (50) dan istrinya gelisah.

Peristiwa gagal panen itu terjadi di sawah Kristoforus yang berada di Kampung Kibaru, Desa Maukeli, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Padahal, Kristoforus saat itu harus memikirkan biaya kuliah anaknya yang mengambil jurusan keperawatan di Sekolah Perawat Saint Carolus, Jakarta, dengan biaya per tahun sekitar Rp 30 juta.

Sandaran utama untuk membiayai pendidikan anaknya itu memang bersumber dari padi hasil olahan yang dijualnya. 

Lalu, pada 2014, saudara Kristoforus, Girinus Sanda, seorang bruder di Ende, menyarankan agar dia membudidayakan buah naga di area persawahannya.

“Saya bingung dengan tawaran itu karena petani di Nusa Tenggara Timur, apalagi di Kabupaten Nagekeo, belum pernah mengetahui budidaya buah naga, sementara saya memikirkan untuk membiayai pendidikan anak di Jakarta. Motivasi demi motivasi disampaikan oleh saudara saya itu, akhirnya saya memutuskan untuk mencoba membudidaya buah naga di areal persawahannya itu,” kata Kristoforus, kepada Kompas.com, di NTT, beberapa waktu lalu.

Baca juga: Cerita Pini Sri Olah Buah Naga Jadi Mi, Kini Raup Belasan Juta Rupiah Per Bulan

Kristoforus mengungkapkan, selain motivasi, saudaranya juga memberikan bibit buah naga sebanyak 4 setek untuk memulai pembudidayaan di lahan persawahannya.

Bibit pertama buah naga yang dibawa saudaranya berasal dari Biara Bruder Konradus Ende.

“Awalnya saya berat karena belum terbiasa membudidayakan buah naga, sementara keseharian saya mengolah lahan pertanian, khusus olah persawahan dengan menanam padi. Didorong untuk membiayai pendidikan anak itu, saya mulai membudidayakan 4 setek bibit naga itu dengan membuah 4 tonggak di lahan persawahan tersebut. Saya ambil terobosan dan memulai menanam di lahan persawahan tersebut,” ujar dia.

Kristoforus mengatakan, pertumbuhan dan perkembangan bibit naga yang ia tanam itu menghasilkan buah yang bagus. Perlahan area sawahnya kemudian penuh dengan pohon buah naga.

Panen perdana 2014 itu menghasilkan 1,5 ton dan menjualnya ke pasar tradisional dengan harga Rp 50.000 per kilogram. Hasil jualan buah naga itu bisa mengirimkan uang sekolah anaknya di Jakarta. Pemasukan dari panen perdana itu sangat bagus, akhirnya saya terus menekuni dan fokus untuk mengembangkan hingga penuh satu lahan persawahan seluas 1,5 hektare,” ucap dia.

“Saya memutuskan mengubah lahan persawahan itu dengan menanam buah naga karena hasilnya menjanjikan bagi pemenuhan hidup keluarga serta membiayai pendidikan anak di Jakarta," tambah dia.

Tahun kedua, ia menghasilkan 3 ton buah naga dan dijual dengan harga Rp 35.000 per kilogram. Pendapatannya mencapai Rp 105 juta.

Melihat hasil buah naga itu, sesama petani terkejut. Mereka meminta bibit ke Kristoforus untuk dikembangkan di lahan sekitar rumah maupun kebun mereka.

Para pembeli buah naga hasil kebun Kristoforus adalah pedagang dari Maumere, Kabupaten Ende, dan Mbay. Konsumsi buah naga terbanyak di Pulau Flores disebut masyarakat Ende.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com