Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Sadikin Pard, Lahir Tanpa Lengan, Melukis dengan Kedua Kakinya

Kompas.com - 16/10/2018, 18:43 WIB
Andi Hartik,
Khairina

Tim Redaksi

MALANG, KOMPAS.com - Terlahir sebagai penyandang tunadaksa atau tanpa tangan tidak membuat Sadikin Pard (52) pesimistis dalam menjalani hidupnya.

Bahkan, Sadikin sudah membuktikan bahwa hidup dengan segala keterbatasan juga mempunyai kesempatan untuk sukses.

Sadikin Pard baru memulai melukis di atas kain kanvas di padepokannya yang tidak jauh dari rumahnya di Jalan Selat Sunda Raya D1/40B Kota Malang, Selasa (16/10/2018).

Kaki kirinya yang mengapit kuas terus bergerak menorehkan berbagai warna di atas kain berukuran 40x55 sentimeter yang berdiri di depannya.

Sesekali, Sadikin mengontrol kuas itu dengan kaki kirinya. Sadikin juga menyelupkan kuas itu ke dalam kaleng yang berisi air untuk mengambil cat acrylic dengan warna yang berbeda.

Sadikin terus melukis. Dengan mengkombinasikan berbagai warna, Sadikin mencurahkan isi pikirannya ke atas selembar kain kanvas tersebut.

Sekitar 10 menit berlalu, kain kanvas yang awalnya putih itu sudah penuh dengan warna. Gambar yang diinginkan Sadikin mulai terbentuk.

Tidak lama kemudian, Sadikin menyelesaikan lukisannya itu. Sebuah lukisan impresionis dengan pemandangan pohon ditunjukkan oleh Sadikin.

Baca juga: Para Pelukis di PSLI XI Surabaya Berencana Bantu Korban Gempa Sulteng

Pria kelahiran 29 Oktober 1966 itu mulai melukis sejak masih di taman kanak - kanak. Saat itu, melukis hanya sebagai hobi. Sadikin juga pernah les melukis secara privat di rumahnya.

Hingga mengenyam pendidikan sekolah menengah atas di SMA Santa Maria Kota Malang, Sadikin masih menempatkan melukis sebagai hobi.

Ditengah keterbatasannya, Sadikin lalu melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Saat itu, Sadikin mengambil jurusan psikologi pascagagal mengambil jurusan arsitek, sebuah profesi yang dicita - citakannya.

Menginjak semester tiga pada tahun 1989, Sadikin mendapatkan informasi melalui koran bahwa ada penyandang tunadaksa yang sukses melukis dengan kakinya.

Jiwa pelukis Sadikin yang sudah tertanam sejak masih taman kanak - kanak tiba - tiba tumbuh.

Ia melukis, menciptakan karya melalui kakinya dan mengirimkannya ke Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA). Sebuah organisasi yang bermarkas di Swiss dan menghimpun karya pelukis yang melukis menggunakan kaki atau mulut.

"Semester tiga saya daftar sebagai pelukis di AMFPA pada September tahun 1989," katanya.

"Setelah itu saya jadikan melukis sebagai profesi. Karena arsitek gagal psikologi juga. Akhirnya semenjak itu saya jadikan melukis sebagai profesi," katanya.

Tergabung dalam AMFPA membuat Sadikin harus mempertahankan kualitas lukisannya. Setiap tahun, ia harus mengirimkan 15 karyanya.

"Di AMFPA saya sudah dibayar. Waktu itu pada tahun 1989 saya menerima 300 swiss franc. Setara Rp 300 ribu waktu itu," katanya.


Kemampuan melukis Sadikin terus tumbuh melebihi tuntutan dari organisasi yang diikutinya. Sadikin terus melukis, menorehkan karya demi karya.

Perlahan, nama Sadikin mulai dikenal karena kualitas karyanya. Bukan karena keterbatasannya sebagai pelukis.

Sadikin juga kerap mengikuti pameran di berbagai negara yang diselenggaran oleh AMFPA.

Sadikin juga tidak jarang mengikuti pameran di berbagai daerah di Indonesia untuk memperlihatkan kualitas karyanya kepada publik dalam begeri.

Upayanya berhasil. Karyanya banyak yang laku dengan harga yang tidak murah. Bahkan, ada salah satu karya lukisannya yang laku hingga Rp 250 juta.

Sibuk dengan dunia seni lukis membuat Sadikin harus mengenyampingkan kuliahnya. Sadikin akhirnya tidak bisa menyelesaikan kuliahnya karena banyak mata kuliah yang ia tinggalkan.

"Kuliah sampai semester delapan karena harus berbagi tugas. Kebetulan saya dilahirkan oleh orang tua yang kurang mampu. Jadi saya harus membayar uang kuliah sendiri," katanya.

Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Van Gogh, Pelukis Pasca-Impresionisme

Menolak Lemah Karena Disabilitas

Banyak faktor yang membuat Sadikin tetap optimis meski hidup dengan segala keterbatasan. Salah satunya adalah faktor religius yang dianut oleh Sadikin. Ia menganggap segala yang ada pada dirinya adalah amanah dari Tuhan untuk dimanfaatkan bagi makhluk lainnya.

"Menurut saya itu sebagai amanah. Jadi apa yang saya miliki itu adalah anugerah yang diberikan oleh Allah. Jadi saya harus menjaga amanah itu sebaik mungkin," katanya.

Selain itu, Sadikin menyadari kodrat dirinya yang akan menjadi kepala keluarga dan harus menafkahi keluarganya.

"Saya sudah harus berkeluarga dan punya keluarga tentunya harus bertanggung jawab," katanya.

Orang - orang di sekitar Sadikin juga menjadi motivasi untuk meraih kesuksesan secara mandiri. Terutama ibunya, Sarmi.

Sosok perempuan sederhana itu sangat membekas di hati Sadikin karena selalu memotivasi dirinya untuk sukses secara mandiri.

Bahkan, Sadikin yang merupakan anak ke-8 dari sembilan bersaudara dan satu - satunya yang cacat tidak pernah diperlakukan istimewa oleh orang tuanya.

Hal itu supaya tidak tertanam rasa ingin dikasihani dalam diri Sadikin.

"Guru hidup saya pertama adalah ibu. Sebagai motivator saya yang tidak saya lupakan. Tidak ada kata memanjakan, dikasihani tidak ada. Saya salah saya dimarahi," katanya.

Selain itu, gurunya di AMFPA juga menjadi cikal bakal jiwa kemandirian di dalam diri Sadikin.

"Dia selalu bilang walaupun kamu cacat kamu harus berdiri di atas kaki kamu sendiri," katanya.

Kini Sadikin juga sudah sukses dengan profesionalitasnya sebagai pelukis. Rumah besarnya di Jalan Selat Sunda Raya D5/35 Kota Malang merupakan hasil dari lukisannya. Berbagai mobil dan sepeda yang terparkir di rumahnya merupakan hasil lukisan yang dilukis dari kakinya.

Sadikin juga membiayai seorang istri bernama Tini dan dua orang anak bernama Alrona Setiawan dan Almedo Pard.

Dia juga memiliki padepokan lukis tidak jauh dari rumahnya. Padepokan itu merupakan tempat saat Sadikin mengajar melukis untuk para siswanya.

Sadikin juga sedang menbangun galery lukisan di lantai dua rumahnya. Kedepannya, Sadikin bercita - cita ingin mendirikan sekolah seni.

"Cita - cita saya ingin mendirikan sekolah seni. Karena sekolah seni di Malang belum ada," ungkapnya.

Saat ini, sudah banyak kolektor yang fanatik dengan lukisan karya Sadikin. Sentuhan kakinya dalam memberi warna di atas kain kanvas banyak disukai pecinta seni lukis.

Bahkan, ada seorang kolektor yang meminta Sadikin untuk melukis seluruh tembok di dalam rumahnya dengan bayaran Rp 300 juta.

"Dan akhir - akhir ini ada seorang kolektor fanatik Pak Sadikin, namanya Dokter Adri. Dia seorang dokter dan saya diminta melukis rumahnya di Manyar Kertoarjoarjo 9 nomor 74," katanya.

Baca juga: Doa Seni dan Kolaborasi 3 Pelukis dalam 1 Kanvas untuk GM Sudarta

"Semua kamar dilukis. Ruang dapur, kamar kerja, kamar tidur, kamar anaknya dengan tema yang berbeda - beda. Selesai dalam 40 hari," kata Sadikin.

Tidak hanya itu, di dalam rumah tersebut juga banyak terpajang lukisan - lukisan yang merupakan karyanya.

"Sampai sekarang dia masih pesan lukisan - lukisan saya," jelasnya.

Sementara itu, banyak hal yang menjadi inspirasi Sadikin dalam melukis. Menurutnya, setiap sesuatu yang dilihat dan dirasakan bisa menjadi inspirasi untuk melukis.

"Apa yang saya lihat, apa yang dengarkan apa yang saya ingin itu adalah inspirasi bagi saya. Dulu mood mengendalikan saya. Saya melukis harus menunggu mood. Sekarang saya balik. Sekarang pegang kuas harus melukis. Bagi saya sekarang menunggu mood adalah pelukis malas," katanya.

Sadikin juga kerap mengeluarkan karya dengan tema kritik sosial dan politik. Sampai saat ini, ada satu karya lukisannya yang masih dipertahankan meski sudah banyak tawaran.

Lukisan itu memuat gambar semar yang mencerminkan seorang pemimpin dengan memakai payung yang terdiri dari uang. Semar itu berjalan menuju perkotaan dengan gedung menjulang dan meninggalkan Candi Borobudur yang mencerminkan simbol budaya.

"Ada beberapa orang yang menawar dan memang tidak dikasih. Saya mengerjakannya selama satu minggu. Karena memang perlu perenungan. Supaya pemimpin - pemimpin ini jangan meninggalkan budaya," ungkapnya.

Ada satu semboyan yang menjadi kunci sukses Sadikin. Ia menganggap, segala profesi jika ditekuni dengan baik membuahkan kesuksesan.

"Profesi apapun kalau ditekuni pasti sukses. Saya saja yang tidak punya tangan bisa," katanya sembari tersenyum.

Kompas TV Hasil karyanya tak hanya diminati di dalam negeri tapi juga laku dijual di luar negeri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com