Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasar Papringan, Mendulang Rupiah dari Bilik Bambu...

Kompas.com - 12/10/2018, 22:44 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin,
Khairina

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Suasana pagi itu sangat sejuk. Cuaca memang bersahabat ketika Kompas.com memutuskan untuk mengunjungi sebuah kebun di Desa Ngadiprono, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, akhir September lalu.

Kebun yang didatangi bukan sembarang lahan biasa. Kebun bambu yang berada di area pemakaman itu unik, karena menjadi tempat untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah bagi warga sekitar.

Lahan kosong yang dipenuhi pohon bambu itu yang semula dikenal angker, kini disulap menjadi tempat yang nyaman dan mengasyikkan. Kebun bambu juga menjadi ajang bermain, belajar dan berwisata.

Lokasi itu kini makin dikenal luas dengan nama Pasar Papringan Ngadiprono.

Pasar "bambu" Papringan kian populer karena hanya buka selama dua kali dalam sebulan. Lokasi yang terpencil di ujung desa tidak menghalangi orang untuk datang dan "membuang" uang di sana.

Baca juga: Uniknya Pasar Papringan Temanggung Hadir di Jakarta Saat Ramadhan

Ribuan wisatawan antre untuk datang untuk melihat kegiatan kreatif yang menampilkan warga setempat sebagai subjeknya. Warga mendapat keuntungan karena dapat menjajakan dagangannya.

Sembari mengenakan pakaian tradisional, puluhan warga berjualan kuliner tradisional yang mulai langka seperti gono jagung, kupat tahu, gablog pecel, sego gono, godoghan, susuk kedele, dan sebagainya.

Aneka minuman tradisional juga disajikan dengan begitu apik.

Banyaknya pengunjung ke pasar "bambu" bukan hanya menguntungkan pedagang, tetapi juga tukang parkir dan ojek.

"Saya ke sana jam 8 pagi tapi dagangan sebagian sudah habis. Padahal saya ke sini untuk mencicipi makanan tradisional," ucap Munif Ibnu, wisatawan lokal Temanggung, bercerita.

Pasar Papringan adalah bukti nyata pemberdayaan masyarakat lokal untuk meraup pundi ekonomi. Warga diajak untuk menjaga kearifan desa dengan menarik wisatawan datang ke desa dan mengeluarkan uang disana.

Di Ngadiprono, kearifan menjaga lingkungan terbentuk hingga terus munculkan kreativitas warganya. Pasar Papringan di Ngadiprono baru tidak saja memperdagangkan kuliner, namun telah dilengkapi dengan ruang baca dan bermain bagi anak-anak.

Sejumlah kerajinan dari bambu hasil kerajinan warga lokal juga didagangkan. Laris. Semua yang ditawarkan adalah hasil kreasi warga sekitar.

"Untuk makan, harus tukarkan uang dengan koin bambu. Ini unik," ujar Munif.

Pasar Papringan di Ngadiprono, Temanggung, Jawa Tengah.KOMPAS.com/NAZAR NURDIN Pasar Papringan di Ngadiprono, Temanggung, Jawa Tengah.

Kembali ke Desa

Founder Pasar Papringan, Singgih Susilo Kartono, menjelaskan Pasar Papringan sengaja diletakkan di ujung desa, agar orang kota kembali ke desa. Pohon bambu yang tumbuh subur di desa dimanfatkan sebagai lokasi berjualan.

Di lokasi di Desa Ngadiprono, lokasi yang disulap adalah bekas tempat sampah. Beraama dengan warga desa, Singgih menata dan membangun dengan seni. Pemerintah desa juga diajak terlibat aktif dalam pengelolaan.

"Tempat ini dulunya bekas tempat sampah. Kami sulap dijadikan lahan berkaya kami. Alhasil kami berhasil lengkapi dengan aneka permainan anak, ada perpustakaan mata air, ada juga bilik menyusui," kata Singgih.

Lokasi Pasar Papringan didesain oleh seorang pria dari Thailand. Desain cukup unik karena di tengah pasar ada lambang angka 8. Lambang itu, lanjut Singgih, berarti keberuntungan, karena jalur lintasan tidak pernah berhenti.

"Ide dari tempat sampah ini kami harap dapat menyebar ke tempat lain. Gagasan ini terlaksana berkat sinergi dan kolaborasi," tambahnya.

Baca juga: Gubernur Jateng: Pasar Papringan Ini Baru dan Luar Biasa...

Suasana pasar itu juga berbeda dari pasar desa pada umumnya. Pasar Papringan memberi makna penting soal desa dan ekosistem alam. Meski di desa, Singgih menegaskan untuk jangan sekali meremehkan desa.

Di desa, dengan bekal kreativitas, wisatawan akan datang sendirinya. Desa menjadi hidup disertai dengan kesadaran untuk menjaga alam, sekaligus aktivitas ekonomi untuk memberi nilai tambah perekonomian setempat.

“Pasar ini bukan memindahkan orang kota ke desa. Bukan. Pasar ini mengajak bagaimana agar kembali pada yang kita miliki, dikembangkan, dijual sehingga mempunyai nilai produk tinggi,” ujar Singgih.

Singgih melanjutkan, para pedagang yang berjualan tidak sekadar mencari untung dari hasil jualan. Mereka yang diajak ialah warga lokal yang diupayakan menggerakkan kelestarian alam.

Para pembeli juga diajarkan mencintai lingkungan, karena di seluruh dagangan tidak menggunakan bahan plastik.

“Apa dimiliki orang desa ini dipoles agar didatangi orang kota. Itu saja konsepnya. Pasar didirikan agar bisa memberi inspirasi pada warga lokal,” tambah Singgih.

Pasar ini pun menarik perhatian Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ganjar tak sungkan mengacungkan dua jempol atas kehadiran Pasar Papringan.

Di tengah kebun bambu, Ganjar mengingat masa kecilnya soal buang air besar. Semasa kecil, buang air besar di bawah bambu menjadi hal lumrah. Kini, bambu bernilai tinggi jika diolah dan dikemas.

"Orang bisa datang ke sini berjalan, ini kreasi perlu didorong. Desa ini punya satu keunggulan, jadi orang tidak perlu keluar dari bisa, dan ini luar biasa,” puji Ganjar, yang datang bersama Siti Atiqoh, kala itu. 



Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com