Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bayi-bayi "Perkasa" di Tengah Pengungsi Gempa, Tersenyum di Tengah Petaka

Kompas.com - 04/10/2018, 07:44 WIB
Rosyid A Azhar ,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

PALU, KOMPAS.com - Bedak putih yang tidak merata membuat wajah Alya (6 bulan) terlihat menggemaskan.

Panas terik matahari yang membakar tempat pengungsian di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Sulawesi Tengah, ini tidak menghilangkan senyum manisnya.

Meski terpal plastik yang dijadikan atap samping kuburan umum ini terasa panas terpanggang matahari Kota Palu, kota yang dekat dengan garis khatulistiwa, dia tetap saja tertawa saat disapa atau digoda pengungsi lain.

Baca juga: Petaka di Petobo, Aspal seperti Gelombang dan Lumpur Keluar dari Perut Bumi, seperti Mau Kiamat

Alya yang masih bayi ini harus tinggal di tempat yang jauh dari layak setelah bencana gempa bumi bermagnitudo 7,4 dan tsunami melanda Sulawesi Tengah.

"Alya sudah mulai beringus, mungkin banyak debu," kata Ainun Rizki (19), ibu Alya, setelah memberi ASI.

Kelurahan Balaroa berada di ketinggian. Dari tempat ini, siapa pun bisa melihat lembah dan Teluk Palu yang luas.

Baca juga: Perumnas Balaroa Amblas Pascagempa Palu, 90 Orang Tewas, Ratusan Orang Tertimbun

Tentu saja mereka tidak diterjang tsunami, namun gempa dahsyat telah memaksa mereka meninggalkan rumah.

Guncangan hebat ini membuat bagian kelurahan ini amblas dalam cairan lumpur yang keluar dari dalam perut bumi.

Bayi Alya bersama ibunya, Ainun Rizki, di penampungan pengungsi di Kelurahan Balaroa, Palu Barat.

Bayi Nabhan Pradipta bersama orangtuanya di Kelurahan Balaroa, Palu Barat. Mereka mengungsi setelah tempat tinggal mereka diguncang gempa.

Anak-anak di tenda pengungsian di Kelurahan Balaroa, Palu Barat tetap ceria walau hidup serba terbatas.KOMPAS.com/ROSYID A AZHAR Bayi Alya bersama ibunya, Ainun Rizki, di penampungan pengungsi di Kelurahan Balaroa, Palu Barat. Bayi Nabhan Pradipta bersama orangtuanya di Kelurahan Balaroa, Palu Barat. Mereka mengungsi setelah tempat tinggal mereka diguncang gempa. Anak-anak di tenda pengungsian di Kelurahan Balaroa, Palu Barat tetap ceria walau hidup serba terbatas.
Bertahan

Di penampungan pengungsi Balaroa ini, bayi Alya tidak sendirian.

Di sini ada bayi Nabhan Pradipta (3 bulan), anak pasangan Evi Dayanti (19) dan Ajab (30), serta Nuzul (4 bulan), buah hati Rafika (29) dan Hendri (34), dan masih banyak lagi. Belum lagi anak usia bawah lima tahun yang selalu riuh.

"Kondisinya harus prihatin, tidak seperti kehidupan normal" kata Evi.

Panasnya Palu memang tidak kenal ampun. Semua merasakan, termasuk bayi-bayi yang belum tahu apa yang sedang mereka alami. Di tubuh Nabhan Pradipta mulai muncul bintik seperti biang keringat, kulitnya juga mulai terkelupas.

"Udara memang panas dan kering, orang dewasa saja tidak tahan. Bagaimana dengan bayi-bayi ini?" ungkap Evi khawatir.

Berbeda dengan Nuzul yang sudah biasa minum ASI yang dibantu susu formula. Di pengungsian ini serba terbatas, tidak tersedia jenis susu yang biasa dikonsumsi bayi-bayi lucu ini.

Mau membeli pun tidak ada toko yang buka, bahan bakar juga langka, transportasi sangat mahal saat ada musibah ini.

Untuk bisa menghasilkan air susu, kaum wanita ini dituntut sehat dengan mengonsumsi makanan yang bergizi tinggi. Namun faktanya di tempat yang panas ini makanan yang disajikan serba darurat. Nasi dengan lauk apa adanya, setiap hari.

"Untung ada layanan kesehatan, setidaknya bisa mengetahui kondisi kesehatan bayi kami," tutur Evi.

Anak-anak di tenda pengungsian di Kelurahan Balaroa, Palu Barat tetap ceria walau hidup serba terbatas.KOMPAS.com/ROSYID A AZHAR Anak-anak di tenda pengungsian di Kelurahan Balaroa, Palu Barat tetap ceria walau hidup serba terbatas.
Doa ibu

Jika malam tiba, bayi-bayi mungil ini tidur di tenda yang penuh sesak dengan saudara mereka.

Mereka tidur hanya beralas tikar dan kasur tipis sementara atap hanya ada terpal plastik yang dibentang, tanpa dinding sehingga angin yang membawa debu bebas keluar masuk. Inilah yang membuat bayi-bayi ini mulai ingusan dan rewel.

"Kami tidak tahu berapa lama akan begini, gempa susulan yang setiap hari terjadi terus menghantui," ujar Rafika.

Bayi-bayi ini memang belum memahami apa yang terjadi, namun mereka turut merasakan dampaknya. Namun para ibu terus melayangkan doa dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik bagi bayi-bayi mereka.

"Kami berharap tidak ada lagi gempa susulan, supaya kami senang, fokus membangun rumah yang sudah ambruk " kata Rafika sambil mengusir 3 ekor kambing yang hendak masuk ke tenda.

Bayi-bayi Balaroa adalah saksi betapa fenomena alam ini sungguh memilukan. Namun mereka tidak menyerah, ibu-ibu mereka mengajarkan untuk terus bersemangat meskipun panas matahari telah membakar kulit mereka.

Karena kehidupan ke depan bisa jauh lebih baik dari hari ini. Kepiluan dan kesengsaraan hari ini adalah bekal untuk mengarungi hidup yang lebih keras.

"Kelak bayi-bayi ini harus lebih baik dari kami, mereka nanti yang mendoakan saat kematian menjemput kami," kata Ainun.

Salah satu dari bayi yang lahir di Balaroa kelak akan menjadi orang yang mampu memahami fenomena alam saat ini, bagaimana ribuan saudara mereka ditelan bumi dan mereka harus menderita di pengungsian....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com