Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasar Kanoman, Mengubah Bencana Menjadi Kebangkitan

Kompas.com - 21/09/2018, 07:00 WIB
Windoro Adi,
Heru Margianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - “Whuaaah… pwedesnya pol,” teriak kawan yang tergesa melahap rujak sambel asem racikan ibu Turi Nuryati (35).

Beberapa ibu yang duduk di bangku panjang, tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan. Seorang di antaranya tersedak, dan buru buru minuma air mineral.

“Mas bukan orang Cirebon ya ?” kata salah seorang ibu.

Yang ditanya menjawab, “Orang Cirebon jeeeh,”.

“Baru pertama makan rujak sambel asem ya? Kalau belum pernah makan makanan ini, belum orang Cirebon mas. Cirebon bukan cuma nasi lengko dan tahu gejrot,” kata si ibu tadi.

Tak berapa lama, sambil mengudap rujak sambel asem, mereka sudah ramai kembali memercakapkan dunia perempuan.

Begitu lidah menyentuh rujak sambel asem, rasa kesal masuk ke Pasar Kanoman yang padat, semrawut, dan panas, seolah sirna.

Betapa tidak, selepas Jalan Raya Siliwangi, masuk Jalan Winaon menuju Jalan Kanoman, pengunjung sudah dihadang kemacetan panjang karena deretan lapak para pedagang kaki lima yang berlapis mengokupasi bahu jalan.

Deretan rumah toko (Ruko) lama nyaris lepas dari pandangan, terhalang lapak-lapak terpal dan gerobak. Para juru parkir memaksa menjejalkan kendaraan bermotor hingga separuh bahu jalan.

“Bahan rujak sambel asem itu kikil ditumis dengan santan kelapa, cilok berbahan aci dan terigu, ciko berbahan santen dan kunyit, lalu sayuran rebus berupa kangkung, toge, daun papaya, daun ubi, daun singkong, merucu dari pisang biji muda diiris iris kecil, direbus, so’un rebus berkecap, lalu diguyur sambal kuah,” papar Turi.

Sajian kemudian dilengkapi krupuk mlarat (krupuk sangrai), dan krupuk mie.

“Ibu-ibu suka makan di sini karena rujak sambel asem-nya memakai merucu. Membuat ibu-ibu kesat, siap melayani para suami,” kata Turi.

Ibu-ibu yang mendengar penjelasan Turi pun cekikikan. Begitulah percakapan di pasar, ceplas ceplos.

Sejarah Nasi Lengko

Sambil mengudap, Wakil Kepala Pasar Kanoman, Dedy Supriadi, memerkenalkan Hariri (45) penjual seblak.

“Sejarah nasi lengko bermula dari mendiang ayahnya, Sarman (62),” ungkap Dedy.

Hariri kemudian bercerita, nasi lengko muncul dari tangan ayahnya tahun 70-an. Semasa hidupnya, Sarman berjualan nasi lengko di salah satu pohon berpagar Keraton Kanoman.

“Setelah mendengar cerita dari kakek saya tentang sejarah pembangunan Masjid Agung Cipta Rasa, ayah saya membuat menu nasi lengko yang berunsur sembilan merujuk pada sembilan wali. Unsurnya, nasi – tempe – tahu – kecap – timun – toge – bumbu kacang – daun kucai, dan bawang goreng,” tutur Hariri.

Menurut dia, ayahnya terenyuh mendengar cerita, beberapa pekerja yang membangun masjid terpaksa makan tatal (cacahan kayu) untuk mengganjal perut mereka yang lapar.

Kegigihan dan ketulusan para pekerja ini kemudian menginspirasi Sarman membuat menu nasi lengko.

Benarkah kisah ini ? Wallahualam bisawab.

Menyambung Hidup

Usai makan siang di lapak Ibu Turi, kami menemui pedagang bahan jamu yang membuka lapak di pohon beringin berpagar lainnya. Nama sebenarnya, Bu Saminah (60).

Lalu kenapa di antara para pedagang dan pengunjung ia lebih populer disebut Bu Bayi?

Saminah (60) penjual bahan bahan jamu, sedang bertegur sapa dengan Kepala Pasar Kanoman, Ibu Suheri, dan wakilnya, Bapak Dedy Supriadi di Pasar Kanoman. Karena dikenal sebagai pedagang paling keras kepala, Saminah lebih populer dipanggil sebagai Ibu Bayi oleh para pelanggan, kalangan pedagang, dan pengelola Pasar Kanoman.KOMPAS/WINDORO ADI Saminah (60) penjual bahan bahan jamu, sedang bertegur sapa dengan Kepala Pasar Kanoman, Ibu Suheri, dan wakilnya, Bapak Dedy Supriadi di Pasar Kanoman. Karena dikenal sebagai pedagang paling keras kepala, Saminah lebih populer dipanggil sebagai Ibu Bayi oleh para pelanggan, kalangan pedagang, dan pengelola Pasar Kanoman.

“Sebab hanya dia yang berani tetap membuka lapak di sini, meski petugas ketertiban pasar datang. Yang lain pada kocar kacir kabur, dia tidak. Biasanya kalau ada orang membandel tidak mau diatur kan sering dihardik, ‘seperti anak kecil saja’. Nah, Bu Suminah ini lebih dari anak kecil, ya bayi,” kata Kepala Pasar Kanoman, Ibu Suheri.

Mendengar cerita itu, Suminah yang berdagang di tempat itu sejak 20 tahun lalu, cuma tersenyum. Dia mengaku, dengan berdagang di situ dia sudah mengentaskan dua anak lelakinya, dan sukses.

Karena kekeraskepalaannya tetap berjualan di tempat terlarang itu, pengurus pasar pun akhirnya mengijinkan Suminah tetap berdagang di tempatnya.

“Ya inilah repotnya mengelola pasar tradisional, pasar rakyat. Kami mesti lebih banyak berempati pada para pedagang kecil. Sebagian besar mereka yang berdagang di sini kan lebih banyak untuk menyambung hidup, dari pada meningkatkan kesejahteraan mereka,” kata Suheri.

Pertimbangan lain yang membuat pengelola pasar membiarkan Bu Suminah berdagang di situ adalah jenis dagangannya yang lengkap, murah, dan sudah langka.

“Salah satu kelebihan pasar tradisional kan melayani pembelanja tradisional. Makanya di sini juga ada para pedagang bunga, menyan, gerabah, sampai bermacam makanan kecil khas Cirebon. Pak Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita pun sering mampir ke sini hanya untuk membeli pepes dage dan kerupuk aci. Ya ikut berdesak desak juga ke sini,” ungkap Dedy.

Pepes dage adalah pepes oncom dengan banyak daun kemangi, berbungkus daun pisang. Rasanya pedas.

Suheri dan Dedy kemudian memerkenalkan pedagang paling lama di Pasar Kanoman. Namanya Nuri Suyanto (78), ayah delapan anak.

Awalnya, di tahun 60-an, dia berjualan kayu bakar dan minyak tanah. Tetapi semenjak tahun 1976, dia berdagang sayuran karena permintaan akan kayu bakar menipis.

Pengembangan Pasar

Kata Dedy, Pasar Kanoman dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1922.

“Inilah pasar kedua di Kota Cirebon setelah Pasar Balongan yang dibangun tahun 1920,” kata Direktur PD Pasar Kota Cirebon, Akhyadi, saat ditemui di ruang kerjanya sambil menunjukkan foto dokumentasi Pasar Balongan, pekan lalu.

Dalam foto dokumentasi tahun 1925 yang tergantung di ruang kerjanya, tampak, bangunan awal Pasar Kanoman terdiri dari dua bangunan memanjang dan tinggi, bergaya arsitektur Eropa. Setiap bangunan dibuat los terbuka yang dipenuhi puluhan pedagang.

Hanya dalam waktu beberapa tahun, lanjut Dedy, Pasar Kanoman dikepung pemukim liar. Para pemukim liar ini kemudian mendirikan lapak lapak dagangannya di tahun 1967.

Tahun 70 sampai awal 80-an, sebagian tanah milik Keraton Kanoman pun akhirnya diokupasi para pemukim untuk membuka kios kios non permanen.

Tahun 1986 sampai tahun 1987, Pasar Kanoman diremajakan dan diperluas dengan menyertakan tanah Keraton Kanoman.

“Tapi ketika itu masih satu lantai. Baru pada peremajaan kedua tahun 1998 dibangun dua blok bangunan pasar berlantai dua,” papar Dedy yang menghabiskan masa kecilnya di Pasar Kanoman.

Suasana Pasar Kanoman, Cirebon.KOMPAS/WINDORO ADI Suasana Pasar Kanoman, Cirebon.

Setelah peremajaan kedua sampai kini, luas tanah Pasar Kanoman ada 4.500 meter persegi dengan luas bangunan 3.103 meter persegi. Kedua blok pasar terdiri dari 450 kios, 607 petian (gerai terbuka dengan peti pedagang), dan 755 gerai terbuka.

“Saat ini ada 10.780 pedagang di dalam kedua blok pasar,” tutur Dedy.

Akhyadi mengakui, di samping pasar grosir Pasar Pagi, Pasar Kanoman menjadi mesin uang bagi PD Pasar Kota Cirebon.

“Hasil retribusi di kedua pasar setiap hari, masing-masing bisa mencapai Rp 3 juta lebih, sementara delapan pasar lain yang kami kelola hanya meraup retribusi per hari Rp 150.000 sampai Rp 200.000 saja,” ujar Akhyadi.

Tahun depan, 2019, Pasar Kanoman bakal diperluas.

“Investornya PT Hutama Raya dari Jakarta, bekerjasama dengan PD Pasar Kota Cirebon, dan pihak Keraton Kanoman. Sistemnya BOT (buy offer transfer) antara PD Pasar Kota Cirebon dengan investor, sedang pihak Keraton Kanoman sebagai pemberi sewa tanah,” jelas Akhyadi.

Dedy menambahkan, PD Pasar Kota Cirebon dan pihak Keraton Kanoman memiliki luas tanah masing-masing 1400-an meter persegi. Menurut rencana, dua blok pasar akan digabung, dan diperluas.

“Jalan masuk dan keluar akan dibuat satu arah. Parkir kendaraan bermotornya bersistem elektronik,” ucap Dedy.

“Yang masih menjadi persoalan adalah, pemerintah Kota Cirebon harus aktif menata dan menertibkan para pedagang kaki lima, dan parkir liar di Jalan Winaon dan Jalan Kanoman,” ujar Akhyadi.

Kedua jalan ini menjadi jalan masuk dan keluar Pasar Kanoman.

“Percuma saja lingkungan Pasar Kanoman sudah tertib dan bersih, tetapi jalan masuk dan keluarnya masih macet, kumuh, dan semrawut,” keluhnya.

Rencana peremajaan Pasar Kanoman yang ketiga kalinya ini sempat terhenti. Penyebabnya, investor menghendaki bagian pasar di atas tanah PD Pasar Kota Cirebon dijadikan kawasan taman, sementara pasar yang berdiri di atas tanah Keraton Kanoman dirubuhkan, dan diganti dengan pasar yang baru.

Tentu saja pemerintah kota menolak, karena jika disetujui maka penghasilan pemerintah kota dari Pasar Kanoman bakal hilang.

Pihak pemerintah kota bahkan balik mengancam, jika hal itu jadi direalisasi, pemerintah kota akan membangun tembok tinggi pembatas yang akan menutup akses Pasar Kanoman yang baru.

Keraton Kanoman.KOMPAS/WINDORO ADI Keraton Kanoman.

Pasar Budaya

Kini, ketegangan tersebut, kata Akhyadi, sudah reda.

“Tinggal menunggu suasana politik lokal mendingin dulu,” ucapnya.

Juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina yang ditemui terpisah di Keraton Kanoman, membenarkan.

“Tiga belah pihak sudah menandatangani kontrak rencana peremajaan dan perluasan Pasar Kanoman,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, Pasar Kanoman yang baru ini nantinya akan mengadopsi lingkungan Pasar di Bringharjo, Yogjakarta dan diperkaya.

“Penataan di Pasar Bringharjo, bagus. Zonasi pasar basah dan zonasi pasar kering sudah dibuat terpisah dan nyaman. Pasar Kanoman sekarang kan belum tertata seperti di Pasar Bringharjo,” ujar Arimbi.

Ia berharap, Pasar Kanoman yang baru nantinya bisa sekaligus menjadi pasar budaya Cirebon.

“Pasar bukan saja menyediakan segala hal yang tradisional seperti kuliner, oleh oleh makanan ringan, cinderamata, dan kebutuhan umum, tetapi juga pertunjukkan, dan suasana yang khas Cirebon. Pasar bisa menjadi destinasi wisata yang terhubung dengan Keraton Kanoman. Jadi terintegrasi,” tutur Arimbi.

Sejak tahun lalu, lanjutnya, pihak Keraton Kanoman sudah merintis pertunjukan setiap akhir pekan di halaman depan keraton. Pertunjukkan tersebut berupa karawitan, teater, baca puisi, tari, maupun pertunjukan musik lainnya.

“Digelar setiap Sabtu malam Minggu. Pertunjukkannya bergantian antara yang modern dan yang klasik. Harapan saya, pertunjukkan ini menghubungkan antara pariwisata di Pasar Kanoman dan di Keraton Kanoman,” jelas Arimbi.

Ia berharap, arsitektur dan lingkungan Pasar Kanoman yang baru nantinya menyesuaikan dengan lingkungan arsitektur dan budaya Keraton Kanoman.

“Pasar bisa sekaligus menjadi ruang edukasi selain memerkenalkan kekayaan Cirebon,” ucap Arimbi.

Jika Pasar Kanoman yang baru sesuai dengan yang diharapkan pihak Keraton Kanoman, maka pihak Keraton akan ikut menyajikan makanan khas Keraton Kanoman.

“Ada oreg bolong berisi kacang panjang dan oncom, ada yipi yaitu sajian sate daging dengan bumbu keraton, wajik komplang berbahan beras, terigu, kisnis, susu,dan minyak samin, dan sejumlah makanan ringan lainnya,” ujar Arimbi.

Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat.KOMPAS/WINDORO ADI Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat.

Bencana Menjadi Kebangkitan

Periset sejarah keraton di Cirebon, Farihin, yang mendampingi Arimbi menjelaskan, pendirian pasar di depan Keraton Kanoman awalnya adalah usaha pemerintah Hindia Belanda mengisolasi lingkungan Keraton Kanoman yang dituding sebagai pusat perlawanan.

Farihin mengatakan, setelah VOC memecah Keraton Pakungwati menjadi Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman dengan cara membangun jalan raya pemisah, pemerintah Hindia Belanda menjadikan sultan kasepuhan sebagai sekadar pegawai mereka.

Pangeran Raja Kanoman, Putera mahkota keraton Kanoman yang terus melakukan perlawanan, dibawa ke Batavia. Dari sana, Raja Kanoman dibuang ke Ambon tahun 1808.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengangkat adik putera mahkota sebagai sultan di Keraton Kanoman. Pasar Kanoman pun kemudian dibangun di depan Keraton Kanoman agar keraton ini tersembunyi dari pandangan publik.

“Sebelum Keraton Pakungwati dibelah, sisi muka keraton ini adalah sisi muka Keraton Kanoman sekarang. Keraton Kasepuhan saat ini adalah sisi belakang Keraton Pakungwati. Jadi sisi depannya ditutup oleh pasar, sedang sisi belakangnya dibiarkan lebih terbuka,” ucap Farihin.

Mengapa?

“Karena penguasa Keraton Kasepuhan yang sudah menjadi pegawai Hindia Belanda kala itu, lebih mudah dikontrol pemerintah Hindia Belanda,” jawab Farihin.

Saat Pasar Kanoman dibangun, lanjut Farihin, Sultan Kanoman-nya adalah Sultan Zulkarnaen (1870 – 1930)

Tahun depan kita bisa berharap, Pasar Kanoman yang dulu dibangun pemerintah Hindia Belanda untuk membunuh eksistensi Keraton Kanoman, bisa menjadi kekuatan baru memulihkan seluruh potensi bukan saja Keraton Kanoman, tetapi seluruh Kota Cirebon. Mengubah bencana menjadi kebangkitan. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com