“Setelah lama di Jerman, saya pindah ke Jakarta. Dulunya keluarga saya dari Bangka,” bebernya.
Adapun kerajinan batik diproduksi tak jauh dari rumah Latarase dengan melibatkan sejumlah karyawan.
Motif yang dikembangkan terinspirasi dari bentuk dedaunan, pepohonan dan juga hewan.
Kerajinan batik yang dinamakan batik katak khas Bangka membutuhkan waktu produksi satu hingga dua pekan setiap lembarnya.
“Ada batik tulis dan cetak yang dirintis sejak dua tahun lalu. Untuk pewarnaan menggunakan bahan-bahan yang didatangkan dari Bantul Yogyakarta,” ujar Sri Endang.
Dia berharap, kombinasi heritage, kuliner dan kerajinan batik menjadi destinasi pariwisata yang mampu menjawab tantangan zaman.
Selain menyaksikan langsung karya warisan budaya, beberapa pengunjung juga bisa mengenang perjalanan nenek moyang mereka di daerah Bangka.
Monumen hidup
Sejarawan Pangkal Pinang, Akhmad Elvian mengatakan, rumah kapiten Lay Nam Sen merupakan living monument, peninggalan priode Chinese di distrik Pangkal Pinang.
Baca juga: Ridwan Kamil Segel Bangunan Cagar Budaya yang Dibongkar Pemiliknya
Rumah dibangun di Kampung Katak, antara kampung Jawa di utara dan kampung China di selatan dengan perpaduan arsitektur panggung melayu, arsitektur rumah kepung atau gedung sebagai rumah marga Hakka serta dibalut dengan sedikit nuansa gaya Eropa.
“Dalam konteks sejarah, rumah ini menjadi bukti pioner pertama kedatangan orang China ke Bangka, khususnya distrik Pangkal Pinang dan memperluas konsentri permukiman masyarakat,” papar Elvian.
Keberadaan keluarga Lay di Pangkal Pinang juga ditandai dengan kompleks makam keluarga yang terletak di Jalan Demang Singayudha, Bukit Besar, dengan generasi pertama Lay Fong Jou, Lay Nam Sen dan Lay Djit Siong.
Lay Nam Sen pada masa itu diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda dengan pangkat Kapiten titulair der cheneezen te Pangkalpinang.