Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3.000 Pemungut Limbah Batubara Sungai Bengkulu 6 Bulan Menganggur

Kompas.com - 04/05/2018, 14:03 WIB
Firmansyah,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BENGKULU, KOMPAS.com - Sebanyak 3.000 warga pemungut limbah batubara Sungai Bengkulu yang berada di Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu menganggur sejak 6 bulan terakhir akibat tidak dapat menjual limbah batubaranya.

Mereka meminta pemerintah memberikan kepastian soal penjualan limbah batubara tersebut.

"Sudah hampir 6 bulan kami tidak bisa menjual limbah batubara di Sungai Bengkulu karena alasan tidak memiliki izin jual dan asal barang," kata Sudirman, pemungut limbah batubara, Jumat (4/5/2018).

Sudirman menjelaskan selama ini ribuan warga memungut batubara yang hanyut dari hulu Sungai Bengkulu.

Batubara itu hanyut dari beragam aktivitas seperti kemiringan tanah dan eksploitasi batubara oleh beberapa perusahaan.

Baca juga : 8 Warga Ciampel di Karawang Keracunan Limbah Batubara

Dalam satu hari dari hasil memungut limbah batubara hanyut warga bisa mendapatkan uang sekitar Rp 100.000.

Kondisi ini sangat menguntungkan warga secara ekonomis dan mengurangi sendimentasi sungai akibat limbah batubara.

"Sekarang penjualan boleh dikatakan terhenti karena tak bisa menjual batubara. Menjualnya harus ada izin surat keterangan asal barang dan beberapa aturan lainnya yang sulit dipenuhi warga, pemda juga sekarang tidak mau memberikan izin," tambah Sudirman.

Akibat terhentinya penjualan ratusan ton batubara yang terlanjur dikumpulkan warga teronggok begitu saja di rumah warga.

"Ini berbahaya bagi kesehatan dan harus diangkut atau dijual. Kami berharap ada jalan keluarnya," ujarnya.

Solusi Perizinan

Sementara itu Erik, warga lain, menambahkan solusi perizinan bisa dilakukan dengan menggunakan pihak ketiga dari perusahaan limbah untuk membeli batubara sungai.

Baca juga : Tanaman Padi Kering dan Mati, Petani Curiga Tercemar Limbah Batubara

Berpijak pada Peraturan Pemerintah (PP) No 101 tahun 2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (LB3), warga menilai batubara sungai merupakan limbah dari aktivitas penambangan batu bara di hulu sungai.

"Tapi untuk memastikan, kami tetap meminta kejelasan dari pihak terkait, apakah batubara sungai termasuk limbah atau bukan. Pasalnya jika benar limbah, batu bara itu bisa tetap di ambil dan dijual,” ujar Erik.

Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Provinsi Bengkulu, Agus Priambudi menyatakan batubara yang dipungut warga itu adalah limbah.

Namun ia belum dapat menyimpulkan apakah limbah itu bisa dijual dengan menggunakan pihak ketiga perusahaan limbah.

"Pendapat masyarakat itu benar minta kebijakan Pemprov dalam perijinan batubara yang diambil dari sungai. Kita juga perlu tahu, apapun kebijakan Pemprov dimunculkan perlu dengan kehati-hatian (precationary principles)," kata dia. 

Baca juga : Harga Batubara Tembus 100 Dollar AS Per ton

"Apalagi yang diminta masyarakat itu terkait komoditi batubara yang bernilai ekonomi dan lokasi sungai yang merupakan kawasan lindung, serta adanya aktivitas perusahaan tambang di hulu, yang sebagian bukan kewenangan pemerintah provinsi." 

Jika desakan masyarakat tersebut telaj dianggap 'konflik' dan merupakan urusan pemerintahan umum, maka perlu dibahas terlebih dahulu dalam forum komunikasi pimpinan daerah karena penyelesaiannya guna menunjang kelancaran pelaksanaan urusan pemerintahan umum (UU No. 23/2014 pasal 26 ayat (1)).

Ia lanjutkan, pengelolaan pengawasan pertambangan adalah kewenangan pemerintah pusat (UU No. 23/2014, Lampiran CC Sub Urusan 2 Mineral dn Batubara), pihak pengawas dan atau inspektur tambang di perusahaan yang harus mengarahkan kepada perusahaan untuk tidak terjadi limpasan batubara ke sungai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com