Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sulitnya Melacak Ikan Duyung dan Lamun di Perairan Kotawaringin Barat

Kompas.com - 14/04/2018, 06:13 WIB
Kontributor Pangkalan Bun, Nugroho Budi Baskoro,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

PANGKALAN BUN, KOMPAS.com - Juraij, lelaki berjambang lebat itu sudah tiga hari berendam dan menyelam di perairan Gosong Beras Basah, Laut Jawa, selatan Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, saat Kompas.com tiba, Rabu (11/4/2018) siang.

Sekretaris Yayasan Lamun Indonesia (Lamina) itu sedang memimpin penelitian lapangan untuk melacak keberadaan ikan duyung (Dugong dugon) dan padang lamun (seagrass) sebagai habitatnya di perairan itu. Namun, selama tiga hari itu, faktor cuaca jadi masalah. "Belum bisa mengambil data karena keruh dan arus," tutur dia.

Kendati begitu, tim yang ia pimpin tetap bekerja untuk mengambil data hingga Senin pekan depan.

"Kami ada dua survei. Survei dugong dan lamunnya. Kami survei lamunnya dulu. Cuma, melihat kondisi perairannya yang sangat bergelombang dan keruh, kami sulit mengamatinya," kata alumni Institut Pertanian Bogor ini.

Dalam aktivitas penelitian ini, Juraij dibantu para peneliti dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalimantan Tengah, Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL), Pontianak, Jurusan Manajemen Sumber Daya Perikanan (MSDP) Universitas Antakusuma Pangkalan Bun, dan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia.

Penelitian ini merupakan bagian dari program Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) yang diinisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan WWF Indonesia.

Siang itu, di perairan Gosong Beras Basah, yang berjarak sekitar 3 kilometer dari bibir pantai Desa Teluk Bogam, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, memang tidak terlalu terik. Di daerah sekitarnya ada mendung, dan bahkan beberapa kilometer ke arah barat, tampak hujan turun.

Air pun cukup bergelombang. Perahu nelayan yang ditumpangi Kompas.com bersama rombongan media trip program DSCP ini beberapa kali terombang-ambing ombak cukup keras.

Sambil menyimak Juraij menjelaskan surveinya, Kompas.com pun turut terjun ke laut. Pada kedalaman sekitar 1,5 meter itu, dapat dirasakan adanya pasir dan lamun. Untuk sekadar meraba dan mencabut akarnya cukup mudah memang. Namun, kepekatan air, membuat jarak pandang sangat sempit, sehingga memilah mana jenis lamun yang disukai duyung menjadi sulit.

"Dugong lebih menyukai lamun jenis Halophila dan Halodule," tutur Idham Farsha, Site Manager WWF Indonesia untuk program Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) di Kabupaten Kotawaringin Barat, yang turut mendampingi Juraij.

"Lamun yang tumbuh di substrat berpasir, dan lumpur seperti ini disukai dugong," imbuh Juraij sambil menunjukkan beberapa helai lamun dan pasir, yang ia ambil dari dasar laut.

Untuk memastikan keberadaan dugong dan bagaimana kondisi padang lamun itu, tim peneliti memiliki sejumlah metode. Ada metode wawancara masyarakat nelayan, untuk mendata interaksi nelayan dengan ikan duyung.

Lalu ada aerial survey. Metode ini menggunaka drone di atas ketinggian 30 meter di atas permukaan laut, untuk mengamati persebaran dugong dalam transek garis pemetaan permukaan laut dengan ukuran panjang 400 meter dan jarak antargaris transek 100 meter.

Selain itu, ada metode visual dengan pengamatan dari atas perahu, menyelam squba, dan manta tow (peneliti berenang di permukaan laut dengan ditarik perahu).

Jejak lamun dan feeding trail

Walau di hari-hari awal sulit mendapatkan data langsung, Juraij yakin Gosong Beras Basah dan sekitarnya masih merupakan habitat dugong. Keyakinan ini diperkuat hasil survei tahun sebelumnya, dan keterangan masyarakat yang masih kerap menjumpai dugong.

Berdasarkan hasil survei Oktober 2016, di perairan Gosong Beras Basah dan tiga gosong sekitarnya, ditemukan 10 jenis lamun. Dari 10 lamun itu, 7 jenis ada di Gosong Beras Basah, yaitu Cymodeocea rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila decipiens, Halophila minor, Halophila ovalis, dan Thalassia hemprichii.

"Pada waktu itu saya melihat langsung dugong melintas di bawah perahu. Hanya sayang tidak sempat diambil gambar. Dugong di sini masih sangat liar," jelas Juraij.

Sementara pada 2017, tim yang dipimpin Idham Farsha, mendapati 7 jenis lamun di sekitar Gosong Beras Basah, Gosong Senggora, Sepagar dan perairan beberapa desa, seperti Teluk Bogam, dan Sungai Bakau.

Tujuh jenis lamun itu adalah cymodocea serrulata, enhalus acoroides, halodule pinifolia, halodule universis, halophila minor, syringodiun isoetifolium, dan thalassia hemprichii.

Pada dua survei itu juga ditemukan feeding trail (jejak memakan lamun) dari dugong. "Feeding trail dugong lebih terpola, memanjang. Beda dengan feeding trail bekas penyu, yang lebih acak," tutur Juraij.

Dalam survei itu juga ditemukan feeding trail sepanjang hingga 9 meter, dengan kedalaman dugong mengeruk pasir saat makan, sampai 6 centimeter. "Kalau sampai dalam 2-6 centimeter, berarti ada dugong dewasa," tutur Juraij.

Menurut pengakuan beberapa nelayan, duyung memang masih ada di sekitar perairan tempat mereka biasa mencari ikan. Namun, untuk melihatnya secara langsung memang agak susah.

"Kalau siang, susah, karena (duyung) di palung. Kalau siang banyak nelayan, (mereka) lari ke tengah. Duyung makannya malam. Kalau lumba-lumba malah siang," kata Mursalim salah seorang nelayan Desa Teluk Bogam.

Masder, nelayan lainnya menambahkan, walau gelap, duyung yang berenang di malam hari bisa terlihat. "Karena bergelombang saat duyung berenang. Saya pernah lihat yang satu kwintal," ujarnya.

Perairan laut Kotawaringin Barat menjadi salah satu dari empat site program DCSP, selain Bintan, Alor, dan Toli-Toli. Kepala Desa Teluk Bogam, Syahrian menyatakan dukungannya terhadap program ini.

Menurutnya, tradisi berburu duyung sudah ditinggalkan, dan masyarakat sudah tahu duyung adalah salah satu mamalia yang dilindungi undang-undang. "Wilayah yang ada dugong dan lamun ini kita jaga sama-sama, untuk dilingdungi dan jangan sampai musnah," kata dia.

Munculnya kesadaran atas larangan mengonsumsi duyung itu juga diakui oleh Idham Farsha. Namun, kata Idham, sebagian warga masih menganggap dugong yang terjerat pukat tanpa sengaja sebagai rezeki. Mereka masih mengonsumsinya. Ini masih terjadi pada Maret 2018 saat seekor dugong kecil mati tersangkut pukat nelayan.

"Kesadaran masyarakat baru pada fase pertama, karena dilarang," kata Idham.

Menurutnya, masyarakat harus terus diedukasi bahwa dengan melestarikan dugong, sama dengan menjaga lamun, yang menjadi makanan mamalia herbivora itu. Sedangkan lamun, juga menjadi tempat sejumlah jenis ikan lain, yang boleh ditangkap, memijah dan berkembang biak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com