Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menyayangi dan Menyayangkan Desa

Kompas.com - 04/01/2018, 23:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

JOKOWI berambisi membangun infrastruktur, bagaimanapun caranya. Begitulah pesan kunci yang sering kita dengar dari setiap pidato beliau.

Memang untuk menjadi negara berdaya saing, tentu seluruh wilayah Indonesia harus tersambung secara infrastruktural. Nah, di sini lah urgensi konektivitas. Lebih dari itu, untuk bisa mencapainya, Indonesia harus dibangun dari pinggiran.

Desa-desa harus serius membelanjakan dana yang sudah dialokasikan pusat untuk menunjang pembangunan infrastruktur.

Jalan desa harus bagus, agar komoditas-komoditas dari desa mudah diangkut dan dimobilisasi ke pasar. Tak ketinggalan, desa harus ikut berkiprah dan berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi nasional.

Oleh karena itu, dana desa sebagian harus dialokasikan untuk sektor produktif, seperti membangun dan memberdayakan Badan Usaha Milik Desa.

Jika desa maju dan masyarakat desa bisa menikmati kemajuan tersebut, maka ketimpangan dan kemiskinan bisa lebih mudah untuk ditekan. Itu lah salah satu makna teknis dari visi membangun dari pinggiran. 

Baca juga : Jaga Integritas Kepala Desa dari Ancaman Jerat Korupsi

Namun memang tidak mudah membalik logika yang sebelumnya telah bertahan lama. Pemusatan pembangunan di kota-kota besar tetap tak terhindarkan.

Desa masih saja pelaku minor yang justru tak naik-naik kelas. Data yang ada tentang desa cenderung masih sangat menyedihkan.

Berdasarkan data dari BPS, Indeks Kedalaman Kemiskian naik dari 1,84 pada September 2015 menjadi 1,94 pada Maret 2016, misalnya. Begitu pula dengan Indeks Keparahan Kemiskinan yang ternyata juga naik dari 0,51 menjadi 0,52 pada periode yang sama.

Menariknya, masih berdasarkan data BPS, untuk wilayah perdesaan, Indeks Kedalaman Kemiskinan naik cukup tajam dari 2,40 menjadi 2,74. Indeks Keparahan Kemiskinan tercatat naik dari 0,67 menjadi 0,79. Data tesebut mencerminkan kondisi kemiskinan di perdesaan justru kian memburuk.

Selanjutnya, BPS juga menengarai terdapat tiga faktor yang memengaruhi hal di atas, (1) garis kemiskinan desa yang cukup tinggi seiring dengan inflasi yang sulit dikendalikan, (2) orang yang tinggal di perdesaan lebih banyak mengonsumsi produk yang berasal dari kota, misalnya mi instan, susu, dan benda-benda elektronik serta produk lainnya, dan (3) pembelian barang dilakukan secara eceran sehingga membuat harga menjadi lebih mahal dibandingkan dengan pembelian dalam jumlah besar.

Memburuknya Indeks kemiskinan perdesaan sebagaimana ditunjukan oleh data di atas sejatinya menjadi semakin menarik diamati jika dikaitkan dengan mulai digelontorkannya dana khusus untuk desa.

Bukankah seharusnya penggunaan dana desa bisa mengakselerasi pembangunan pedesaan yang pada gilirannya akan menekan angka kemiskinan di desa-desa? Seharusnya demikian, tapi kenyataanya masih belum semanis harapan.

Sudah sejak tiga tahun terakhir desa mendapat guyuran dana desa, namun jika dikomparasikan dengan meningkatnya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan desa, maka boleh dikatakan bahwa rakyat desa justru belum merasakan dampak signifikan dari kehadiran dana tersebut.

Lucunya, nomenklatur dana desa dalam APBN, baik melalui transfer daerah maupun anggaran APBDes tersendiri, tiap tahun justru terus meningkat. Pada tahun 2015 tercatat sebesar Rp 20,8 triliun, 2016 sebesar Rp 40 triliun dan pada 2017 sebesar Rp 60 triliun.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com