Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

Siaga Gunung Para Dewa

Kompas.com - 09/10/2017, 08:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Saat saya bertanya kepada Pak Pandita, terkait dengan posisi Pura Besakih yang masih ramai dikunjungi peziarah dan masuk ke dalam zona bahaya letusan Gunung Agung, Pak Pandita menjawab bahwa ia telah berkomunikasi dengan "Beliau".

Saya tanya kemudian, siapa maksud dengan "Beliau"? Apakah "Beliau" yang dimaksud adalah bukan manusia? Pak Pandita menjawab, "Ya, bukan!"

DALAM kepercayaan Hindu Bali, Pandita adalah sosok yang sangat dihormati. Ia merupakan pemuka agama Hindu, yang punya banyak peran.

Salah satu kelebihan dari sosok Pandita Mpu Paramadaksa Purohita adalah kemampuan berkomunikasi dengan para leluhur. Pandita kemudian mendapatkan informasi yang berguna terutama untuk keselamatan dan kepentingan para umatnya.

Saya temui Pandita Mpu Purohita. Sesungguhnya pertemuan saya ini tidak sengaja. Karena, awalnya saya tengah menunggu salah satu pemuka agama Hindu di Pura Besakih, Karangasem, Bali, Jro Mangku Suweca. Namun, karena masih memimpin doa bagi para umatnya di Pura Besakih, saya pun tetap harus menunggu.

Saya bertanya kepada orang-orang di sekitar pura, yang begitu ramah menerima kedatangan kami, tim Aiman dari KompasTV.

Pertanyaan saya kira-kira seperti ini, "Kapan Jro Mangku selesai memimpin doa?" Sebab, saya menunggu cukup lama dan hari sudah mulai beranjak gelap, sementara kamera TV dan peralatan kami terbatas untuk melakukan wawancara dalam kondisi kurang pencahayaan.

Salah satu pengurus Pura Besakih kemudian menjawab pertanyaan saya itu, "Kapan saja jika beliau merasa sudah cukup." Saya pun kembali menunggu.

Kemudian ada seseorang yang duduk di dekat saya. Sebelumnya dari kejauhan saya melihat sosok tersebut begitu dihormati saat masuk ke lingkungan Pura Besakih, yang merupakan pura tertua dan terbesar di Indonesia, lebih dari 1.000 tahun usia Pura Besakih ini.

Kebetulan ia duduk di sebelah saya, kami pun akhirnya terlibat perbincangan santai, lagi-lagi dengan sangat ramah. Ternyata saya berbicara dengan seorang pandita.

Saya bertanya mulai dari dari keseharian hingga aktivitasnya sebagai pandita dan juga perbedaannya dengan Jro Mangku yang bertugas memimpin doa di sebuah pura.

Akhirnya saya meminta izin agar Pandita Mpu Purohita bersedia saya wawancara. Ia pun bersedia. Dan, akhirnya kami memulai proses wawancara.

Saya bertanya kepada Pak Pandita, terkait dengan kondisi zona bahaya di Pura Besakih. Pasalnya, selama hampir dua jam saya berada di pura ini, justru tak henti–henti mereka yang datang untuk sembahyang, terus mengalir.

Pura Besakih berada di kawasan zona 6 kilometer dari Kawah Gunung Agung, yang saat ini sedang berstatus Awas, siaga menghadapi letusan.

Pak Pandita pun menjawab bahwa ia telah berkomunikasi dengan "Beliau, Putra Bhatara Indra Wilatikta" di sana. "Beliau" mengisyaratkan bahwa letusan Gunung adalah sebuah fakta yang tidak bisa diubah.

Pandita pun melanjutkan, "Untuk fakta yang tidak bisa diubah, umat manusia harus menerima dengan lapang dada, dan agar umat terus-menerus memohon, sekiranya meletus dampaknya agar tidak luas. Rahayu jagat Bali (Selamat sentosa seluruh Bali)".

Saya kemudian bertanya, apa yang dimaksud dengan "Beliau"? Apakah bukan manusia?" Pak Pandita pun menjawab, "Ya, bukan".

Lepas dari wawancara saya, Pak Pandita pun mengajak saya, untuk mengantar ke tempat "Beliau". Saya berjalan mendaki beberapa ratus meter, masih di lingkungan Pura Besakih, namun di tempat yang paling tinggi dari bagian Pura Besakih ini.

Pak Pandita menunjukkan kepada saya, ada beberapa bangunan yang didiami oleh beberapa leluhur, di antaranya Maharaja Jayabaya dan Bhatari Maheswari, yang memimpin kerajaan Kadiri di Jawa bagian Timur, serta terkenal dengan ramalannya.

Pak Pandita menunjuk bangunan suci Hyang Wisesa (manifestasi Dewa Indra) dan Bhatari Ratu Mas Magelung. Ia pun menjelaskan yang memberi petunjuk Pak Pandita, adalah Putra Bhatara Indra Wilatikta, putra dari Hyang Wisesa.

Di akhir wawancara saya, Pak Pandita berpesan agar teknologi jangan dianggap remeh. Oleh karenanya, arahan pemerintah akan keselamatan warga di Bali tetap harus diutamakan.

Lepas dari wawancara, hari mulai gelap dan Pandita Mpu Purohita berpamitan kepada saya untuk bersemedi sejenak. Ia naik ke tempat yang lebih tinggi dari Pura Besakih, yang bernama Pura Gelap di lereng Gunung Agung.

Sampai sekarang belum ada yang mengetahui, kapan letusan Gunung Agung akan terjadi. Apakah besar seperti tahun 1963 atau sebesar letusan Gunung Merapi di Yogyakarta tahun 2010 atau justru lemah dampak letusannya.

Tidak ada yang bisa memperkirakan, besar dan kapan waktunya. Hanya Tuhan yang Maha Esa, yang kuasa untuk menjawab.

Sekali lagi, manusia hanya bisa memohon dan bersiaga agar dampaknya, seberapa besar pun letusannya, korban jiwa yang jatuh karenanya bisa dihindari.

Kita semua berharap bersama. Semoga.

Saya Aiman Witjaksono

Salam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com