Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Terang Petani Pangalengan Bandung

Kompas.com - 29/09/2017, 21:56 WIB
Reni Susanti

Penulis

Selain kentang, Hasan juga mengembangkan bisnisnya di benih kentang. Ia pun dipercaya menjadi Sekjen Asosiasi Penangkar Benih Kentang Indonesia-Jabar dan berkeliling Indonesia untuk mempromosikan benih kentang Pangalengan.

“Ada juga beberapa bisnis di luar kentang. Tapi itu semua berkat kentang. Berkat kentang juga, masyarakat di sini mandiri secara ekonomi. Apalagi bagi warga sini, bertani bukan hanya pekerjaan tapi budaya masyarakat Pangalengan,” tuturnya.

Selama ini ia memiliki mimpi mengubah citra petani. Dulu, orang menilai petani itu kucel, berwawasan sempit, berpenghasilan rendah, dan tidak memiliki kemampuan banyak. “Petani itu kaya, keren, dan cerdas,” ungkapnya.

Digitalisasi

Ada beberapa faktor yang membuat pertumbuhan Kelompok Tani Bintang Saga positif. Satu di antaranya digitalisasi dan perkembangan teknologi informasi khususnya telekomunikasi.

Selain untuk memudahkan komunikasi antar anggota kelompok dan klien, Hasan memanfaatkan teknologi komunikasi khususnya internet untuk mengecek info pasar.

“Harga kentang tidak diatur pemerintah. Jadinya harga berfluktuasi dengan cepat. Untuk memperoleh data pasar, kita gunakan internet dan memanfaatkan link yang ada. Setidaknya kalau harga lagi turun, petani sudah siap mental sebelum menghadapi kenyataan,” ucapnya.

Dengan info pasar ini pula ia bisa memprediksi saat yang tepat untuk melepas produknya bahkan waktu tanam. Tentunya dengan mengutamakan faktor alam, cuaca, dan lainnya.

Penggunaan internet, sambung Hasan, mutlak diperlukan. Kebutuhan data dan jaringan yang bagus juga sangat membantu.

Untungnya, infrastruktur jaringan telekomunikasi di daerahnya sudah menggunakan 4G, sehingga penggunaan data bisa lebih maksimal. Ia sendiri menggunakan Telkomsel dalam menjalankan bisnisnya.

Bukan cuma petani kentang, petani kopi menaruh harapan besar pada digitalisasi. Pemilik dan pengolah kopi Priangan, PT Morning Glory Coffee International, Nathanael Charis mengungkapkan pentingnya digitalisasi bagi petani kopi.

Sebelum dirinya masuk, harga kopi di Pangalengan hanya Rp 18.000 per kg. Setelah beberapa tahun ia membantu meningkatkan kualitas kopi dan membawanya ke dunia internasional, harganya mencapai ratusan ribu per kg.

“Dulu kopi dihargai murah oleh tengkulak karena tidak memiliki standar. Setelah kopi Jabar berstandar dunia harganya meningkat dan petani langsung menjualnya ke eksportir,” ucapnya.

Namun, harga yang diperoleh petani akan lebih besar jika petani langsung bertemu buyer. Ia mencontohkan, harga kopi Jabar di Australia 10 dollar AS. Jika dijual melalui eksportir, uang yang dikantongi petani hanya 4,5 dollar AS atau Rp 55.000 per kg dari harga Rp 100.000 per kg.

“Kalau langsung menjual ke buyer, petani bisa mendapat Rp 75.000 dan harga yang diperoleh Australia turun menjadi Rp 80.000, yang Rp 5.000 untuk dana pengelola. Jadi baik petani maupun buyer diuntungkan,” tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com