Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Terang Petani Pangalengan Bandung

Kompas.com - 29/09/2017, 21:56 WIB
Reni Susanti

Penulis

KOMPAS.com – Aceng Hasan Muttaqin (37) tak pernah menyangka akan menjadi petani. Walau besar di Pangalengan dan terbiasa melihat aktivitas petani, tak terbersit sedikit pun dalam pikirannya untuk menjadi petani.

Ia tumbuh di tengah keluarga PNS dan mencoba peruntungan menjadi supplier elektronik selepas kuliah di STBA Bandung. Hingga akhirnya ia menemukan tambatan hati, Ami Hamidah seorang anak petani.

Tak perlu waktu lama untuk Hasan menikahi sang pujaan hati. Seusai menikah, Hasan tinggal di rumah mertua karena ekonomi keluarga baru mereka belum kuat.

Di rumah mertua, setiap hari Hasan melihat aktivitas pertanian. Sedikit demi sedikit, ada rasa ketertarikan pada dunia pertanian. Hingga akhirnya ia mencintai pertanian dan memutuskan untuk terjun di dalamnya.

“Ga langsung jadi petani. Selama 2-3 bulan jual beli sayuran dulu. Baru setelah itu, sekitar tahun 2006,  jadi petani sungguhan,” ujar Hasan kepada Kompas.com, belum lama ini.

(Baca juga: Sindiran Jokowi buat IPB dan Paradoks Pertanian Indonesia)

Tanaman yang ia pilih adalah kentang. Untuk memulai usahanya, ia menyewa lahan PTPN yang tidak terpakai seluas 250 meter persegi. Harga sewanya saat itu Rp 35 juta per hektar. Dibantu lima pegawai, Hasan berhasil memanen kentangnya.  

Dalam perkembangannya, Hasan membentuk kelompok tani Bintang Saga. Kelompok ini berisi 40 orang petani yang menggarap 80 hektar lahan. Dari 4 pegawai, kini Hasan memiliki 25 pegawai dengan luas lahan garapan 4 hektar. Harga sewa lahan Rp 80 juta per hektar.

“Keuntungan berkelompok, kita gampang tembus pasar, mendapat permodalan, dan pemasaran kentang lebih stabil,” tuturnya.

Ia mencontohkan, kentang dari kelompoknya dipasarkan di tiga tempat yaitu Bandung, Jakarta, dan Bogor. Ketika salah satu pasar membutuhkan kentang lebih banyak, ia tidak akan pusing mencarinya. Ia akan mendapatkan dari anggota kelompoknya.

“Dengan berkelompok minimal kita tidak kekurangan barang. Kebayang kalau kekurangan, masa harus nunggu musim panen berikutnya atau bingung cari kentang ke tempat lain. Tapi kalau berkelompok kita bisa mengatur sirkulasi pengirimannya bersama-sama,” ucapnya.

Kentang, sambung Hasan, keuntungannya menjanjikan. Dalam 1 ha lahan bisa menghasilkan 15-20 ton kentang. Di pergudangan, kentang lebih tahan lama bisa sampai 2 bulan. Saat ini harganya pun relatif stabil di Rp 8.000-10.000 per kg.

Namun persoalannya ada di lahan. Saat ini kelompoknya menyewa lahan milik PTPN yang lokasinya jauh di pegunungan atau sekitar 30 km dari ibu kota Kabupaten Bandung, Soreang.

Itu pun hanya 40 persen lahan yang bagus, sisanya cukup untuk makan dan sedikit tabungan. Ditambah, masa tanam kentang efektifnya dalam setahun hanya sekali, karena terbentur aturan pemerintah.

“Karena lokasinya jauh ke jalan, ada ongkos angkut yang lumayan besar. Total ongkos produksi per hektar berkisar Rp 80 juta-100 juta,” tuturnya.

Meski demikian, secara keseluruhan, bertani kentang menguntungkan. Sebab, ia berhasil mendapatkan omzet Rp 1 miliar hingga Rp 1,5 miliar per tahun. Sedangkan omzet kelompok taninya lebih dari Rp 5 juta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com